Friday, January 29, 2016

Kolonisasi

Oleh Riko Firmansyah


TRANSMIGRASI bermula dari hasil penelitian Hazelman yang dilaporkan Residen Kedu, bahwa lahan pertanian di Jawa berkurang dari 1904 - 1905 menunjukan peningkatan jumlah yang pesat 20 ribu jiwa menjadi 23 ribu.

Sementara di luar Jawa masih banyak lahan untuk perkebunan baru. Sehingga, H.G Higthing diperintahkan memindahkan penduduk lewat program kolonisasi ke Desa Bagelen, Kecamatan Gedongtataan, Pesawaran, pada 1905.

Program itu diadopsi pada zaman orde baru dengan penambahan alasan tujuannya. Untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.

“Sepertinya ada yang kurang, Leh,” ujar Minak Tab.

“Apa?” Tanya Saleh.

Kritik mengatakan bahwa pemerintah berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal.

Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat.

Lalu, berubah lagi tujuannya. Untuk mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan.

Mendukung kebijakan energi alternatip (bio-fuel), pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia, ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan, dan penyelesaian pengangguran dan kemiskinan.

“Lalu, soal bakal lokasi transmigran. Kawasan konservasi yang merupakan penyangga kehidupan mahluk hidup, sebisa mungkin dijauhkan dari lokasi transmigrasi,” jawab Minak Tab.

Kemudian, daerah asal. Kepadatan penduduknya lebih dan 1.000 jiwa/km2,
daerah kritis atau tandus yang akan dihijaukan, penduduknya berpenghasilan sangat rendah, rawan terhadap bencana, dan penggusuran akibat proyek waduk.

Bila tidak, transmigrasi justru malah memiskin rakyat yang memang sudah paspasan karena membuka lahan pertanian baru di wilayah antah berantah oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang bercocok tanam sama sekali.

Selain itu, berkurangnya tingkat persaingan antar penduduk di daerah asalnya. Tentunya ini memperlambat perputaran laju ekonomi yang telah berjalan.

“Tadinya berdisiplin disertai etos kerja yang tinggi tiba-tiba kembali santai karena mengurangnya daya saing tadi,” ujar Minak Tab.

Idealnya yang transmigrasi itu adalah investor bermodal sangat kuat. Dengan begitu dia mampu merekrut tenaga profesional dalam mengaplikasikan teknologi di bidang pertanian.

“Bukan sebaliknya, memindahkan rakyat miskin yang awam tentang bagaimana membuka lahan baru. Itu sama saja menjerusmuskan rakyat. Eh, Leh mau ke mana?” Tanya Minak Tab.

“Ini hanya pekerjaan rumah berupa esai dari sekolah anak saya. Kalau yang Minak katakan tadi tugasnya para pejabat,” jawab Saleh, sambil berlalu. []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 28 Januari 2016

No comments:

Post a Comment