Tuesday, January 12, 2016

Simalakama Nelayan

Oleh Abdullah Al Mas’ud

NELAYAN di Provinsi Lampung, belakangan serba salah: melaut takut ditangkap, tidak melaut tidak makan. Jadi harus bagaimana…? 

Mereka baru tahu adanya aturan baru dari pemerintah setelah sejumlah nelayan di Lampung berurusan dengan hukum. Dalam transaksi hukum itu, nelayan dianggap melanggar Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/PERMEN-KP/2015, yang berisi larangan para nelayan yang menggunakan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) untuk menangkap ikan di perairan Indonesia.

Senin (11/1/2016), ratusan nelayan ngelurug ke Kantor Gubernur di Telukbetung. Mereka protes protes pemberlakuan aturan baru tersebut karena selama ini, nelayan di Lampung menggunakan pukat hela dan pukat tarik.

Suka tidak suka, senang tidak senang, nelayan harus menerima aturan tersebut karena pemerintah juga telah mengkaji persoalan aturan itu sebelum dikeluarkan karena dua alat tangkap itu masuk klasifikasi merusak lingkungan. Tujuannya menjaga kualitas lingkungan perairan.

Namun, masih banyak nelayan yang belum paham. Pelarangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik itu, bagi nelayan sama artinya mematikan sumber nafkah. Mau melaut takut ditangkap, tidak melaut keluarga tidak bisa makan karena itu satu-satunya nafkah nelayan.

Siapa pun berpandangan, pemerintah lewat dinas kelautan harus mengakui belum maksimal dalam menyosialisasikan aturan tersebut sehingga nelayan tak punya waktu untuk menyiapkan cara baru mencari nafkah.

Kondisi ini, tentu menyusahkan nelayan setelah ada larangan sesuai peraturan menteri itu maka mereka tidak lagi bisa melaut. Sedangkan penggantian alat tangkap ikan memerlukan proses dan waktu yang tidak pendek, juga biaya tak sedikit.

Jadi sangat ketara, munculnya ratusan nelayan ke Kantor Gubernur membuktikan sosialisasi tentang peraturan menteri itu tidak berjalan maksimal.

Di sisi lain, isteri Gubernur, Yustin Ficardo secara terus-menerus dan berkesinambungan berkampanye makan ikan. Sebab ikan merupakan makanan yang penuh protein dan gizi tanpa risiko. Sesuai data, angka konsumsi ikan Indonesia masih rendah, baru 30,47 kg/kapita/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang negara kecil itu, tingkat konsumsi ikannya mencapai 55,4 kg/kapita tahun.

Kampanye makan ikan oleh Ny. Gubernur tentu menghendaki kesehatan buat rakyat di Lampung. Tak bisa dipungkiri, kampanye itu tentu dilatarbelakangi masih banyak warga yang kurang memahami manfaat gizi dan protein ikan bagi kesehatan dan kecerdasan. Tak kalah penting, Lampung juga masih sangat kekurangan teknologi pengolahan ikan sebagai bentuk penganekaragaman produksi untuk memenuhi selera konsumen.

Mengingat hal itu semua, pemerintah hendaknya harus terus menerus menjalankan sosialisasi aturan baru. Pokoknya setiap aturan baru, harus terus disosialisasikan, bukan disimpan di laci  atau masuk dalam buku.

Hampir di setiap media massa, sangat jarang adanya berita soal sosialisasi aturan. Warga dipaksa cari tahu sendiri setiap aturan. Padahal, jika melanggar berisiko di penjara bahkan denda yang sangat tinggi.

Dalam aturan nelayan ini, sebaiknya pemerintah memberikan solusi terbaik buat nelayan yakni dengan cara melakukan pembiaran dalam waktu yang telah ditentukan sambil menunggu proses cara baru penangkapan ikan sesuai aturan yang berlaku. Jangan asal main larang yang bikin bingung nelayan. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 12 Januari 2016

No comments:

Post a Comment