Wednesday, January 6, 2016

Kriminalitas Anak-Remaja

Oleh Abdullah Al Mas’ud

MIRIS melihat kasus kriminal saat ini yang kian melibatkan pelakunya masih bocah. Sehari menjelang Tahun Baru 2016, bocah SMP dibui 8 tahun setelah membunuh, kemudian komplotan curanmor siswa SMA digulung polisi.

Kemarin, ABG memperkosa ibu rumah tangga. Kejadian itu menambah deretan kasus kejahatan sadis di kalangan anak-anak. Bahkan secara nasional kasus kriminalitas  pembunuhan oleh anak-anak juga kian bertambah.

Contoh siswa kelas satu SD di Makassar, Sulawesi Selatan, tewas dikeroyok temannya. Berikutnya, gara-gara saling olok, anak SD di Balikpapan membunuh temannya. Kemudian, seorang bocah berusia enam tahun di Bekasi tewas ditenggelamkan di danau oleh temannya, gara-gara berselisih soal uang Rp100 ribu.

Serangkaian kejadian memiriskan itu hendaknya bisa dijadikan pelajaran oleh para orangtua agar lebih aktif menjaga dan mengawasi anak-anaknya. Pengawasan tak saja terhadap perilaku kekerasannya, tetapi juga sumber persoalannya.

Tindak kriminalitas merupakan ekses dari persoalan lain seperti gaya hidup dan lunturnya norma sosial. Pada sisi gaya hidup, kita semua tahu, masyarakat kita cenderung mendewakan kebendaan ketimbang nilai-nilai moralitas.

Begitulah, sebagaimana para sosiolog sering mengingatkan, kenakalan anak-anak dan remaja sesungguhnya adalah gejala penyimpangan sosial yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.

Orangtua banyak yang mengabaikan kondisi anak-anak karena kesibukannya pada pekerjaan. Pendidikan anak diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Padahal, secara psikologis, anak-anak yang tumbuh menjadi remaja sedang mengalami transisi kejiwaan.

Lalu, bagaimana dari sisi pemerintah? Dasi sisi pemerintah, telah lama kita sadari, pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sesungguhnya bukan tujuan pembangunan yang sebenarnya. Pertumbuhan ekonomi penting, tapi jangan mengabaikan nilai-nilai budaya dan moralitas sosial. Pembangunan tak saja untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan secara lahiriah, tapi juga kesejahteraan batiniah.

Dalam kerangka itu, keberhasilan pembangunan pendidikan, misalnya, tidak bisa hanya diukur dengan pertumbuhan jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusannya, dan sebagainya. Demikian halnya pembangunan kesehatan tak bisa hanya dilihat dari jumlah fasilitas kesehatan, tak hanya dilihat dari kesehatan secara fisik, tapi juga kesehatan jiwanya.

Tidak berimbangnya pemenuhan kebutuhan lahir dan kebutuhan batin harus segera mendapat perhatian dari semua pihak. Hal ini penting, agar perilaku menyimpang bisa dikendalikan secara baik.

Kemudian, soal perilaku aorang tua tentu juga menentukan psikologi anak-anak. Perbaikan dan perhatian juga perlu unt6uk kalangan orang tua. []


~ Fajar Sumatera, Rabu, 6 Januari 2016

No comments:

Post a Comment