Monday, November 16, 2015

Pilkada Berkualitas

Oleh Riko Firmansyah

VONIS satu bulan penjara bagi tiga mahasiswa perusak alat peraga kampanye jadi momentum efek domino prilaku serupa yang mewarnai pilkada di Bandarlampung. Putusan pengadilan itu makin memicu perusakan banner berikutnya.

Banner calon nomor urut 1 dirobek; wajah Herman HN digunting (nomor 2) dan dihiasi rongsok; begitupun milik nomor 3, compang camping. Ini cermin adanya sekolompok warga yang mulai apatis terhadap pilkada kota.

Meski calon dan penyelenggara tak bergeming dengan tetap mencetak ulang banner tersebut. Tapi, bukan itu persoalannya. Masalah berikutnya adalah, gejala rendahnya partisipasi masyarakat terhadap pilkada mulai terasa.

Pesta demokrasi apapun tanpa partisipasi maksimal rakyat berarti menandakan rendahnya kualitas pilkada tersebut. Jadi, banyaknya pemilih yang menyalurkan suaranya akan menentukan bobotnya.

Perusakan atribut atau gangguan kampanye, apapun alasannya dan bentuknya bukan hal mendasar bagi pilkada itu sendiri. Toh hanya sebatas media bagi sosialiasi para calon. Tak lebih dan tak kurang. Cukup masyarakat tahu saja. Dan, mereka sudah tahu.

Selebihnya tergantung para calon sendiri. Patutkah mereka dipilih karena menjadi sosok elite politik yang teladan. Akan mengecewakan pemilih tidak, bila salah satu dari mereka jadi wali kota, lewat kiprah dan track record-nya yang bakal memuaskan publik.

Artinya, atribut kampanye hanya bagian kecil dari pemilu. Sehingga, tak perlu dirisaukan dan dibuat gaduh seperti itu. Jadi, penyelenggara pilkada bertanggungjawab bila partisipasi pemilih rendah. Jangan salahkan rakyat terus.

Penyelenggara harusnya lebih menfokuskan pada aspek yang tak terlihat di permukaan pada sistem pemilu kita. Diantaranya, fair play dan potensi kecurangan dalam hal mobilitas uang yang massif dan terstruktur berupa alokasi dana bantuan sosial dan hibah.

Pemkot mengalokasikan Rp31,38 miliar atau naik 69,08 persen dari tahun sebelumnya. Penyaluran belanja hibah dan bansos yang sangat besar ini rentan disalahgunakan. Meski bukan ranah penyelenggara tapi bisa merangkul BPK dan BPKP untuk mencermatinya.

Modusnya, membuat penerima hibah fiktif, memberikan bansos dan hibah secara berulang kepada satu lembaga, pemotongan dana, memberikan dana ke lembaga yang diisi oleh kerabat atau keluarga salah satu calon.

Fokus saja pada itu dijamin bakal menciptakan pesta demokrasi yang fair play. Jadi, jangan beralasan itu bukan ranah penyelenggara. Rumusnya, pemilu tanpa pengawasan konprehensif sama saja dengan menyelendupkan pelanggaran.

“Nanti-nanti, dari tadi tak obrolan Minak Tab dan Saleh. Ke mana mereka?” tanya Udo.

Mereka lagi sibuk mengajukan pinjaman lunak untuk warungnya ke kantor kecamatan. Pinjaman itu tanpa melampirkan syarat sertifikat warung dan toko, cukup proposal neraca perdagangan dan bentuk fisik usaha yang sudah ada. Jadi, cimit dulu. []


~ Fajar Sumatera, Senin, 16 November 2015

No comments:

Post a Comment