Monday, November 23, 2015

Minus Sosialiasi

Oleh Abdullah Al Mas'ud

TAK terasa, tak lama lagi Pilkada serempak akan berlangsung, persisnya 9 Desember 2015. Ada yang menyedihkan dalam prosesi demokrasi itu, jika golput yang menang. 

Kecenderungan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya, baik dalam pemilukada, sepertinya semakin meningkat. Kondisi itu tak bisa dipungkiri karena hampir tiap pesta demokrasi golput selalu yang menang.

Dalam pilkada tahun ini juga berpotensi terjadi peningkatan angka golput. Kenapa semakin banyak orang memilih golput? Selain mungkin karena ada kesalahan administrasi, setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, bisa jadi karena mereka kecewa terhadap praktik demokrasi. Mereka tidak percaya bahwa pemilu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Kedua, mereka tidak sreg dengan kandidat yang ditawarkan untuk dipilih. Ketiga, hari pelaksanaan pemilu yang diliburkan membuat mereka lebih memilih untuk berlibur ketimbang harus datang ke TPS.

Janji-janji kampanye yang menggiurkan ternyata tidak mampu memikat mereka. Kenapa? Betapa mereka sudah kenyang dengan janj-janji, yang semuanya dianggap sebagai kebohongan dan kemunafikan. Bukti tentang itu tersaji secara terbuka berdasarkan pemilu-pemilu sebelumnya. Jadi, semacam trauma, begitulah.

Berangkat dari sejumlah fenomena tersebut di atas, mengatasi golput hanya dengan seruan agar mereka datang ke TPS tidaklah cukup.

Sosialisasi bahwa pemilu itu penting bagi sebuah demokrasi sebagaimana kerap disuarakan oleh orang-orang KPU akan dianggap angin lalu.

KPU juga baru-baru ini menyosialisasikan ke ibu rumah tangga, bukan kepada pemiluh pemula. Padahal, ibu rumah tangga yang sduah pernah mencoblos tentu sama saja dengan lelaki.

Namun, yang mengkhawatirkan ketika kesadaran untuk menjadi golput menghinggapi para pemilih pemula yang notabene generasi muda, generasi pelaku demokrasi Indonesia ke depan.

Para pemilih pemula, tentu harus paham pentingnya memilih kepala daerah karena yang nakal menentrukan arah daerahnya. Salah pilih…berarti salah arah.

Apalagi sosialiasi peserta Pilkada juga sudah dilarang KPU tersebar di berbagai media massa sehingga kian sulit bagi pemilih pemula untuk mengenal calon kepala daerah, kecualipada hari tertentu.

Di tengah sistem perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukan pekerjaan mudah untuk membuat para golput berubah pikiran agar menggunakan hak pilihnya.

Meski KPU menciutkan sosialiasi calon kepala daerah pada Pilkada yang tentu menciutkan pendapatan media, tapi media tetap peduli untuk menyosialisasikan para calon.

Dengan demikian, sosiasialisasi untuk meminimaliasi golput tentu sebaiknya disosialiasikan ke seluruh elemen, Pendek kata, mari sama-sama kita pergi ke tempat pemilihan suara untuk memilih kepala daerah.


~ Fajar Sumatera, Senin, 23 November 2015

No comments:

Post a Comment