Thursday, October 15, 2015

Menyoal Pengupahan

Oleh Deni Kurniawan


SEBUAH diskusi kecil yang dihadiri oleh beberapa elemen buruh mahasiswa dan petani di sebuah kawasan Kota Sepang kemarin sore, sangat menggugah pikiran yang tentunya ikut terlibat langsung dalam diskusi mengenai pengupahan buruh. Sebuah kebijakan nasional rencanananya akan disahkan oleh Presiden Jokowi pada hari ini, 15 Oktober 2015 yaitu Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan.

RPP Pengupahan ini merupakan salah satu bentuk kebijakan baru dari pemerintahan Presiden Jokowi yang ditujukan untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha, yang selama ini menganggap model kenaikan upah buruh yang tidak memberikan satu kepastian bagi dunia usaha atas kenaikan upah yang dapat diprediksi.

Dalam RPP Pengupahan itu dibahas sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap pengupahan seperti skala upah, produktivitas kerja, kesejahteraan pekerja, inflasi, dan usulan perubahan periodesasi penetapan upah minimum menjadi bagian yang bakal dimasukkan dalam isi RPP tersebut.

Penetapan upah minimum Provinsi maupun Kabupaten/Kota selalu menjadi isu yang berdampak sosial yang luas. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan pengupahan yang lebih komprehensif. Dikatakan oleh Menaker, bahwa selama ini kalangan pengusaha dan pekerja menginginkan revisi Undang Undang Ketenagakerjaan, namun hal itu belum bisa dilaksanakan karena belum ada titik temu dalam pembahasannya yang melibatkan pemerintah dan DPR.

Menurutnya, pengkajian RPP Pengupahan itu sebagai salah satu terobosan untuk menyempurnakan peraturan pengupahan sambil menunggu dilakukannya revisi UU Ketenagakerjaan. Menteri juga menjelaskan sebelum merumuskan suatu peraturan di bidang ketenagakerjaan, mula-mula harus dilakukan pengkajian yang menyeluruh. Pasalnya salah satu aspek yang diperhatikan adalah dinamika yang terjadi di antara pengusaha dan pekerja.

Muhaimin berharap nantinya RPP Pengupahan tersebut dapat berfungsi sebagai pondasi dalam stabilitas hubungan industrial yang membutuhkan aturan baru yang sifatnya lebih interaktif. Lanjutnya, Ia mengajak pengusaha dan pekerja untuk duduk bersama membahas RPP Pengupahan tersebut. Selain itu, diharapkan RPP Pengupahan dapat mengakhiri adanya multitafsir dari serikat pekerja dan asosiasi pengusaha dalam penetapan upah minimum. Menurutnya bahasan upah minimum itu sangat penting sebab upah minimum itu merupakan jaring pengaman bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari setahun.


Sekilas pernyataan Menakertrans memperlihatkan kondisi RPP Pengupahan yang cukup jitu untuk permasalahan pengupahan pekerja, namun sayangnya respon dari pihak pekerja tidak senada dengan penuturannya. Contohnya seperti pengurus KSPI merupakan Konfederasi Buruh yang terlibat di Lembaga Kerjasama Tripartit, sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perumusan RPP tersebut.

Hal ini bisa dilihat dari penuturan Presiden KSPI, Said Iqbal, yang mengklaim bahwa alur pemrosesan pembuatan RPP Pengupahan ini tidak jelas (proses pembahasannya tidak melibatkan Tripartit Nasional dan Dewan Pengupahan Nasional). Serikat Pekerja tersebut sama sekali menolak pengesahan RPP Pengupahan karena mereka mengkritisi banyak poin-poin pada rumusannya yang dianggap merugikan kaum pekerja. Salah satunya mengenai poin luputnya pembahasan tentang upah minimum tenaga kerja yang sudah berkeluarga. Dalam rumusan RPP tersebut, yang dibahas secara intens berfokus pada upah minimum pekerja lajang.

Jika tetap dilakukan berarti pemerintah mendegradasi fungsi KHL sebagai faktor penentu upah minimum, memang bukan hanya KHL faktor penentu dari besaran kenaikan upah minimum ada juga dari stabilitas ekonomi dan produktivitas, namun pemerintah sendiri juga belum punya instrumen yang jelas untuk menilai produktivitas dengan adil dan jelas.

Ternyata, penolakan terhadap rencana pengesahan RPP Pengupahan ini direspon oleh seluruh jaringan Serikat Buruh di daerah daerah. Lampung termasuk yang akan ikut melakukan respon penolakan RPP Pengupahan tersebut yang rencananya menggelar aksi massa di Kota Metro. Sejumlah elemen buruh di Jakarta pun secara gegap gempita akan turun ke jalan dan Istana Negara.

Situasi ini membuat RPP Pengupahan akan sulit untuk diterapkan di Indonesia. Tambahan lain seperti poin  jumlah item Komponen Hidup Layak (KHL) yang tidak jelas, tidak ada sanksi bagi pengusaha yang tidak bayar upah minimum (hanya sanksi administrative) dan lainnya juga mendasari penolakan RPP Pengupahan tersebut. Kesimpulan yang di tarik bahwa RPP Pengupahan ini seolah-olah dipaksakan, membatasi ruang gerak serikat pekerja untuk menyuarakan aspirasi buruh, dan membohongi buruh serta mencerminkan kembalinya rezim upah murah. []


~ Fajar Sumatera, Kamis, 15 Oktober 2016


No comments:

Post a Comment