Monday, August 24, 2015

Serius Jadi Lampung

Oleh Riko Firmansyah


BAHASA Lampung dijamin tidak akan punah. Paling tidak itu kata Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Karena, memiliki sistem penulisan atau aksara sebagai fasilitas untuk merekamnya dalam media selain lisan.

Lalu, Lampung ada pada kelompok bahasa Austronesia atau Melayu. Termasuk  Aceh, Batak, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, dan Sasak.

"Di luar suku itu tidak dijamin bakal bertahan menghadapi era global dan modernisasi yang begitu deras, saat ini. Dan, kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia secara keseluruhan," ujar Saleh.

"Kata siapa?" tanya Minak Tab.

"Ujar para ahli di bidangnya," jawab Saleh mantab.

Terpenting adalah bukan bahasanya tapi lebih pada peradaban itu sendiri. "Sekedar mempertahankan bahasa mudah. Cukup menjadikannya syarat masuk PNS. Pasti banyak lembaga kursus bahasa Lampung berdiri," kata Minak Tab.

Sedangkan mempertahankan peradaban dan prilaku yang bercirikan Lampung itu yang sulit. Tak cukup dengan pemasangan logo di toko atau mendirikan bangunan berarsitektur siger. Atau, wajib memutar lagu Lampung di rumah makan.

"Itu semua kulitnya. Begitu tidak diawasi lagi oleh petugas Pol PP, mereka memutar lagu lain. Karena keinginan mendengarkannya tidak dari hati. Begitupun dengan logo siger di toko. Lambat laun akan hilang dengan sendirinya," tutur Minak Tab.

Yang sangat utama itu adalah mempertahakan keberadaan Paksi, Marga, Buay, atau Kepangeranan. Karena lembaga inilah simbol dari keberadaan adat Lampung yang sesungguhnya.

Hanya kepala marga berfinansial kuat yang mampu mempertahannya. Sementara lainnya bakal hilang.

Berdasar catatan Pemerintah Belanda, tahun 1928, ada 84 marga di Lampung berdasarkan teritorial-genealogis.

Dari sekian banyak marga tersebut tentunya tidak semua dari mereka hidup berkecukupan. Logikannya, bagaimana bisa bisa melestarikan budaya yang bercirikan marganya sementara kondisi ril mereka terjebak dengan tinggi harga sembako.

Latihan dan pertunjukan Tari Bedana, misalnya. Hanya bisa diselengarakan saat ada resepsi pernikahan dari salah satu anggota Marga tersebut. Sementara, pemangku marga tidak mampu mempertahankannya secara berkesinambungan. Hanya sebatas peminjaman tempat dan nama berdasarkan pesanan saibul hajat.

"Jadi, musti gimana geh?" potong Saleh.

Harusnya pemerintah daerah di tiap kabupaten/kota menyisihkan dana dari APBD mereka setiap tahunnya untuk diberikan kepada marga-marga tersebut dengan maksud mempartahankan adat, budaya, dan kesenian. Tanpa melihat besar atau kecilnya marga itu.

"Salah satunya merehab kain siger mereka yang sudah mulai lapuk termakan jaman. Atau, menyempurnakan perlengkapan kesenian. Kalau itu terlaksana baru banyak yang serius jadi orang Lampung. Ngupi pai," ujar Minak Tab. []


~ Fajar Sumatera, Senin, 24 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment