Friday, August 14, 2015

Merdeka!

Oleh Abdullah Al Mas’ud


MERDEKA...kata itu pasti kita dengar pada setiap perayaan hari kemerdekaan. Bahkan kita juga turut memekik Merdeka…kala merayakan hari kemerdekaan. Pekikan kemerdekaan saat ini tentunya tidak lagi sama dirasakan kemaknaannya seperti era pra kemerdekaan yang merindingkan bulu kuduk.

Pekikan di era kemerdekaan mengandung makna yang sangat mendalam, sama seperti menggelorakan jiwa nasionalisme serta mengobarkan api semangat perjuangan apalagi setelah melewati peringatan hari kemerdekaan pekikan kemerdekaan ini serasa mentah atau hambar.

Perbedaan itu dari pekikan Merdeka tadi, tentu berubah seiring denan perkembangan zaman. Dulu pekikan untuk memperjuangkan, kini pekikan kemerdekaan untuk mengisi kemerdekaan.

Kemerdekaan Indonesia memasuki usia 70 tahun (17 Agustus 1945-17 Agustus 2015). Pada 17 Agustus 1945 kemerdekaan negara Indonesia diproklamirkan sebagai puncak perjuangan Bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan selama 350 tahun atau 3,5 abad.

Tak pelak lagi, usaha pemahaman sejarah perjalanan bangsa merupakan bagian integral, tak terpisahkan dari upaya untuk memaknai kembali nilai-nilai kemerdekaan suatu bangsa dalam konteks perubahan zaman yang terus berlangsung termasuk dalam  memasuki gerbang abad ke-21 ini.

Perubahan orientasi dan strategi perjuangan ini di lakukan untuk menjawab tantangan zaman dan aneka problematika bangsa pasca kemerdekaan ke-70 tahun : Sebuah usia yang seharusnya menjadi modal dasar dan kuat untuk melaksanakan proses pembangunan nasional dalam mengisi kemerdekaan.

Namun dalam usia yang sudah sedemikian “sepuh” bangsa Indonesia disadari atau tidak, masih terus saja berada dalam situasi “pasang surut”, bahkan aneka problematika bangsa justru menjadi faktor penghambat utama kelancaran proses dalam mengisi nilai-nilai kemerdekaan, seperti problematika pengangguran, angka kemiskinan masih meningkat meski klaim pemerintah menurun.

TKI yang katanya pahlawan devisa masih menjadi barang komoditas eksploitasi. Biaya pendidikan semakin mahal, penguasaan asing atas SDA semakin mencengangkan.

 Kondisi ini semakin memprihatinkan, ketika kita sadari ternyata Indonesia tampil menjadi juara impor untuk keperluan barang-barang pokok: beras, jagung, gula, kedelai dan buah-buahan.

Sementara itu praktik-praktik KKN terus “menjamur”, menjadi budaya bagi pejabat publik di berbagai instansi pemerintah dan sudah menjadi rahasia umum yang semakin menggelikan untuk disaksikan: Institusi DPR terindikasi sebagai industri mafia (anggaran, legislasi, pengawasan).

Bahkan, praktik-praktik KKN telah menjadi identitas dari bangsa besar bernama Indonesia. Problematika persoalan bangsa semakin diperparah dengan aksi-aksi terorisme, bagai komoditas politik yang asyik dilakoni oleh kelompok-kelompok tertentu.

Di lain pihak, aparat penegak hukum masih tunggang langgang mendiskreditkan hukum dan keadilan masyarakat: Sungguh “jauh panggang dari api”. Praktik-praktik kekuasaan yang dipaparkan ini, sejatinya merupakan bentuk kolonialisme gaya baru berjubah demokrasi.

Lalu, kapan dan siapa yang mampu membawa kita keluar dari kemelut ini ??? tentunya KITA yaitu bukan dia, bukan pula mereka tetapi kita secara begandengan tangan. Jargon PANCA SILA dengan semboyang Bhineka Tunggal Ika seakan tidak lagi ampuh untuk memberikan performans bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berfalsafah, mejemuk dalam satu kesatuan sikap, semangat dan perjuangan.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila perlahan beranjak pergi dan hilang dari kesadaran Warga Negara, jangankan nilai yang bersifat abstraksi itu, isi Lima Sila pun sudah banyak rakyat yang lupa. Sehingga tidak heran kalau-kalau sering terjadi persoalan tentang iman dan agama, pelanggaran kemanusiaan, tentang disintegrasi, domokrasi yang kebablasan serta keadilan yang kerap diperdagangkan.

Nilai etis dan moral bangsa jauh mengalami degradasi. Namun begitu silitnya saat ini mencari tokoh bangsa yang dapat mengkawal nilai-nilai pancasila serta menjadi kutub pancaran spirit nasionalisme, cinta tanah air dan patriotisme karena kebanyakan figur-figur publik justru lahir dari bilik-bilik primordial sehingga kiblat petuangannya pun tidak jauh untuk kembali pada pemuasan kepentingan diri atau kelompoknya.

Mencari manusia yang bebas kepentingan di muka bumi ini hanya dapat ditemukan pada orang-orang yang tidak waras. Sedangkan pada manusia normal tidak luput dari kepentingan, hanya  fenomena kehidupan bagi kebanyakan orang di Nusantara saat ini seakan bebas dari pemikiran dan perjuangan atas kepentingan bangsa dan negara (baca; kepentigan umum) dengan demikian terhadap kepentingan yang satu ini mereka tidak berbeda dengan orang-orang yang tidak waras.

Momentum memperingati hari kemerdekaan bangsa yang ke-70 ini hendaknya dapat menggiring pulang kesadaran, kepekaan, nurani kita untuk menjadi rakyat yang bertanggung jawab membangun bangsa dengan benar. M E R D E K A…! []




~ Fajar Sumatera, Jumat, 14 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment