Thursday, June 4, 2015

Sarjana Singkat

Oleh Abdullah Al Mas'ud


ORANG tua selalu berpesan kepada anak-anak mereka yang sedang kuliah agar rajin belajar supaya cepat lulus dan meraih gelar. Ironisnya, banyak orang tua yang berupaya meraih gelar tanpa harus belajar seperti anak-anak mereka tapi bisa lulus dalam tempo singkat.   Dalam tempo 2-3 tahun bisa memperoleh dua gelar sekaligus yakni S1-S2.  Sayangnya, di Provinsi Lampung ini, perguruan tinggi yang mengobral gelar tak pernah digubris sehingga kian banyak meluluskan sarjana, sarjana abal-abal?

Ada perbedaan cara memperoleh gelar kesarjanaan antara yang instan dan perolehan dengan cara akademis, yakni mereka yang mengejar jabatan dengan syarat dari gelar dan mereka yang menganggur untuk memperoleh pekerjaan dari ijazah kesarjanaan.. Umumnya, yang mengejar gelar instan itu adalah mereka sekarang menjabat berbagai posisi di pemerintahan, kepolisian, perusahaan, atau menjadi wakil rakyat, kepala daerah, bahkan pemimpin perguruan tinggi.

Mayoritas, para alumnus pun yang memperoleh gelar tanpa proses akademis itu pun biasanya mewajibkan diri menulis gelar dalam berbagai kebutuhan yang berkaitan dengannnya, apalagi jika mengisi formulir pun seperti sebagai sebuah  keharusan.
Unikanya lagi, kampus yang mengobral gelar itu dengan bangga memromosikan situs resminya sebagai halaman promosinya. Bajkan dengan bangga memajang foto para alumnus. Dalam situ tersebut juga dimasukkan berbagai biaya yang harus dikeluarkan dari calon mahasiswa.

Maraknya ijazah instan pendidikan tinggi ini setidaknya mengungkapkan banyak orang keblinger dalam memaknai tanda bukti kelulusan akademis itu. Padahal, gelar abal-abal jelas merendahkan martabat, sekaligus bertentangan dengan esensi pendidikan yang mengharuskan penghormatan tertinggi terhadap kejujuran. Tak ada alasan membiarkan promosi yang begitu gamblang dari lembaga yang mengiming-imingi calon konsumennya gelar kesarjanaan sampai doktoral cukup "ditebus" dengan Rp 35-57 juta.

Pandangan keblinger terhadap gelar akademis juga mesti diluruskan, termasuk dalam sistem ketenagakerjaan kita. Perlu koreksi mendasar, terutama dalam pengaturan jenjang kepegawaian di lembaga-lembaga negara. Seleksi kepangkatan pegawai hendaknya mulai menimbang faktor kompetensi, bukan didasari gelar akademis semata. Yang paling penting, sistem administrasi pemerintahan dan lembaga negara tak boleh abai mengecek gelar pegawainya.

Kondisi tersebut, tanpa disadari adalah perbuatan menipu diri-sendiri. Lalu, apakah ini bisa didefinsisika sebagai gelar fiktif…jika benar bagaimana dengan pidana lantaran yang namanya menipu masuk ranah hokum seperti yang termaktug dalam pasal 378 KUH Pidana. []


~ Fajar Sumatera, Kamis, 4 Juni 2015

No comments:

Post a Comment