Monday, June 29, 2015

Petasan

Oleh Riko Firmansyah


SELEPAS Salat Tarawih Minak Tab dan Saleh berbincang di Surau.

Tiba-tiba Roni, putra Saleh, memanggil lalu berbisik di telinganya. Kemudian, Saleh merogoh kocek dan memberikan uang receh pada Roni. Selanjutnya, putra sulungnya itu berlari menuju warung dekat situ.

"Kenapa Roni itu, Leh," tanya Minak Tab.

"Biasa anak-anak. Minta duit untuk beli petasan," jawab Saleh.

"O, jadi bunyi dar der dor itu anak kamu yang membakar petasan. Pantesan. Kok diizinkan sih Leh?"  Ujar Minak Tab protes.

"Biarlah. Kasian juga lihat teman-temannya bakar petasan dia hanya jadi penonton," ujar Saleh.

"Leh, padahal kalau kita telurusi secara mendalam ke dalam Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah, tidak ada satu pun ayat atau hadits yang memerintahkan umat Islam membakar petasan. Para ulama di masa-masa berikutnya pun tidak ada satu pun dari mereka yang membicarakan petasan ketika datang Ramadan," ujar Minak Tab.

"Lalu dari mana budaya bakar petasan saat Ramadan?" jawab Saleh, ketus.

Memang tak ada data yang pasti tentang masalah itu. Ada yang mengatakan bakar petasan itu pengaruh dari budaya Cina, ada juga yang berkata bahwa petasan itu sebagai lambang kegembiraan umat Islam karena Ramadan telah tiba. Juga ada yang berujar, bahwa suara petasan itu merupakan pengumuman atas datangnya bulan Ramadan.

Tetapi semua analisa itu tidak memiliki dasar yang bersifat ilmiyah, apalagi yang bersifat hukum syariah. Malah yang lebih sering terjadi justru sejumlah kekacauan dan kecelakaan, akibat petasan yang meledak.

Sudah tidak terhitung jumlah korban baik luka atau nyawa akibat membakar petasan. Petasan-petasan yang dinyalakan di bulan Ramadan telah berkali-kali merenggut nyawa.
 
Anehnya kejadian seperti selalu berulang tiap datang Ramadan. Alangkah naifnya bila membakar petasan yang merenggut nyawa dikaitkan dengan bulan Ramadan. Seolah-olah membakar petasan dianggap bagian utuh dari ritual bulan Ramadan.

"Kamu mau anak-anak itu celaka?" kejar Minak Tab, yang dijawab dengan gelengan kepala.

Antara syariah dan syiar terkadang berjalan seiring, kadang saling mendukung, kadang saling membelakangi bahkan kadang juga saling bertabrakan. Wabil khusus kalau sudah terkait dengan urusan Ramadan.

"Ingat ya Leh, dalam hukum negara itu dilarang," ujar Minak Tab.

"Ingat juga ya Minak. Meski dirazia tetap kambuh lagi," cecar Saleh.

"Apa jangan-jangan memang ada main sehingga bisnis petasan marak?" guman Saleh.

"Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ujar Minak Tab, sambil berlalu. []


~ Fajar Sumatera, Senin, 29 Juni 2015

No comments:

Post a Comment