Tuesday, June 9, 2015

BPJS Ojek

Oleh Deni Kurniawan


AKSES wilayah yang jauh dari jalur angkutan umum tentu amat mudah kita jumpai yang namanya pangkalan ojek. Dengan pos yang sederhana agar terhindar dari terik matahari dan hujan, biasanya mereka (tukang ojek) bangun secara swadaya.

Sistem bergilir yang diterapkan oleh mereka dalam melayani calon penumpangnya, membuat keteraturan sendiri di kelompok ojek. Menandakan sebuah kedisiplinan saat memperoleh dan berbagi rejeki dengan sesama profesi adalah sebuah panutan yang mulia.

Tak heran jika perusahaan pembiayaan dan diler motor memberikan kemudahan bagi mereka saat para tukang ojek mengajukan kredit motor sebagai alat produksinya. Kemandirian tukang ojek seolah tidak menghadirkan peranan negara dalam memperhatikan kesejahteraan tukang ojek dan keluarganya.

Terobosan BPJS dalam meluaskan kepesertaan anggota BPJS di sektor pekerja informal ada dua cara pandang untuk melihatnya. Pertama, BPJS selaku perusahaan berpikir untuk mendongkrak laba perusahaan secara global. Kedua, BPJS membangun citra sebagai sebuah perusahaan asuransi yang pedulu dengan rakyat kecil.

Bukankah diawal sudah disebutkan, bahwa kemandirian tukang ojek dalam mencari rejeki hampir tidak tersentuh oleh peran negara. Mulai dari membeli motor, membangun pos, membuat uniform bahkan menentukan ongkos jasa ojek pun berdasarkan kesepakatan antara tukang ojek dan penumpangnya.

Boleh jadi ini merupakan bentuk perhatian negara di sektor pekerja informal. Pertanyaannya adalah, Sejauh mana sosialisasi BPJS dalam melibatkan sektor pekerja informal ini? Kemudahan layanan seperti apakah yang ditawarkan BPJS dalam merekrut tukang ojek sebagai peserta BPJS.

Seperti dikatakan oleh Mulyono Adi Nugroho selaku  Kepala Bidang Pemasaran BPJS Ketenagakerjaan Wilayah 1 Peserta hanya membayar iuran sebesar Rp20.800 tiap bulannya. Hak yang akan diperoleh peserta setelah membayar iuran bulanan akan mendapatkan jaminan kecelakaan kerja dan santunan cacat. Juga akan memperoleh santunan kematian sebesar 48 kali upah sebulan. Santunan tersebut berlaku saat peserta meninggal ketika bekerja. Apabila peserta meninggal saat tidak sedang bekerja maka santunan diberikan sebesar Rp21 juta.

Jika hukum pasar yang diberlakukan untuk melibatkan para pekerja informal tersebut, maka serahkan pilihan itu kepada pekerja informal yang ada di republik ini. Tanpa harus melihat latar belakang kehidupan mereka secara nyata. Berapa jumlah tukang ojek atau pekerja informal yang ada di Lampung? Berapa rata rata penghasilan mereka dalam sebulan? Sejauh mana informasi ini bisa diserap oleh pekerja informal?

Sebuh paradoks ketika pekerja formal di pabrik dengan upah yang pasti dan mudah ditebak penghasilan bulanannya pun masih meneriakkan penghapusan iuran dan berharap agar negara menanggung premi iuran kepesertaannya. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 9 Juni 2015

No comments:

Post a Comment