Monday, December 7, 2015

Sama-sama HN

Oleh Riko Firmansyah


YOS, adiknya Herman HN ya karena nama belakangnya sama-sama HN?

“Gemblung. Bukan! Kalo dia HN singkatan dari bapaknya, Hasanusi. Sedangkan saya dari nama kedua orang tua, Hardjo Karsono dan Nuk Sastro Dihardjo,” ujar Oyos Saroso HN meledak.

Gurauan ini kerap muncul, baik saat kumpul maupun di facebook. Dan, jawabannya selalu sengit seperti itu. Membantah dengan gaya yang meledak-ledak.

Sikap spontan dan ekspresif itu makin membuat kedua HN ini mirip.  Tegas.

Namun, jalan hidup kedua bertolak belakang. Oyos concern di dunia sastra, seni, dan jurnalistik. Sedangkan, Herman birokrasi, politik, dan sosial.

Soal sikap tegas, dibuktikan Herman pada pembenahan Pasar Bambu Kuning, saat Wali Kota Bandarlampung. Tempat belanja paling sembrawut di tengah kepungan mall dan supermarket itu berangsur baik.

Pertimbangan Herman hanya satu, transaksi dan perputaran uang di Bambu Kuning sangat besar seolah pasar tersebut pusat transaksi masyarakat Bandarlampung.

Ketegasan dan ketangkasan yang dimiliki Herman HN menjadi cambuk bagi para birokrat untuk melakukan seluruh program dengan cepat dan tepat. 

Kisah sukses tersebut menginspirasi banyak daerah untuk mengetahui lebih jauh akan strategi yang telah diterapkan Herman HN dalam penataan pasar.  Karena itu, para kepala daerah se Sumbagsel memintanya jadi ketua Apeksi.

Kepiawaiannya dalam meningkatkan potensi PAD diacungi jempol walaupun masih ada sebahagian masyarakat yang memandang negatif atas setiap gerak langkah yang telah dilaksanakan.  

Akan halnya Oyos, ketegasan dan fokusnya pada dunianya juga membuahkan hasil yang diperhitungkan di level nasional.

Namanya ditulis dalam Leksikon Susastra Indonesia (Korie Layun Rampan: 2000, 344). Di samping itu, karya-karyanya terkumpul dalam berbagai antologi bersama, di antaranya Batas Diam Matahari (1996), Penyair Ujung Pulau (2002), Gender (Sanggar Minum Kopi Bali, 1993), Dari Bumi Lada (1997), dan Angkatan 2000 dalam Kesusasteraan Indonesia (2001).
Lalu dua buku cerita anak: Rahasia Sebatang Lidi (1996), Titik Diam di Mata Karmin (1996).

Beberapa judul puisi Oyos, di antaranya Membaca Dunia (1991), Ekstase Kematian (1993), Orasi Perjalanan (1993), Megatruh (1996), Juli (1996), Amnesia 1 dan Amnesia 2 (2004).

Selain puisi, Oyos juga membuat naskah teater berjudul “Yang Berumah di Atas Angin” – dipentaskan di Teater Arena, Taman Ismail Maszuki, akhir Desember 1995. Di samping itu, Oyos juga aktif menulis esai yang telah dipublikasikan di sejumlah media nasional dan lokal.

Meski berbeda---kecuali kesamaan HN pada nama belakang mereka---tapi yang jelas keduanya aset Lampung. Tokoh dari dimensi dua kehidupan yang berbeda inilah yang mengharumkan Sang Bumi Ruwa Jurai. []


~ Fajar Sumatera, Senin, 7 Desember 2015

No comments:

Post a Comment