Tuesday, December 15, 2015

Perang ‘Dana’ APBD

Oleh Rusidi


DUNIA Olahraga kini sudah bukan lagi menjadi bidang pelengkap dalam era globalisasi dan modernisasi, namun sudah menjadi isu fundamental dan mendasar serta bukan lagi menjadi rahasia umum. Bagaimana tidak, diera yang serba maju dan wah ini apa yang tidak bisa dilakukan oleh insan olahraga untuk menggapai suatu keinginan. Karena olahraga sudah menjadi ajang bisnis demi meraup keuntungan.

Salah satu even olahraga terbesar di tanah air, Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 sudah di depan mata. Banyak daerah yang saling berlomba untuk menggapai asa dan prestasi di PON tersebut demi sebuah prestius dengan mengesampingkan nilai-nilai sportifitas. Berbagai strategi dengan menghalalkan segala macam cara, seperti yang dilakukan beberapa daerah/provinsi. Baik itu yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Yang paling santer tentu adalah para penggiat olahraga di Pulau Jawa. Jauh-jauh hari mereka telah melakukan pembajakan atlet untuk raihan prestasi semata di perhelatan PON nanti. Kekuatan materi (finacial) yang bersumber dari APBD menjadi trand menarik. Ada beberapa daerah yang gencar melakukan ‘jual-beli’ atlet dengan prestasi nasional dan internasional demi sebuah medali guna mengatrol posisi/peringkat di PON mendatang.

Salah satu contoh adanya perang dana yang bersumber dari APBD masing-masing daerah adalah terjadinya transfer atlet seperti Trianingsih. Pelari marathon dengan reputasi internasional tersebut, akan membela DKI Jakarta di PON XIX mendatang setelah ditranfers dari Jawa Tengah dengan uang pembinaan sebesar Rp400 juta plus iming-iming pekerjaan. Lain halnya dengan tuanrumah Jawa Barat, tim sepakbolanya di danai 6 milyar lebih dengan target juara PON 2016. Masih banyak lagi daerah yang melakukan pembajakan atlet demi kepentingan sesaat demi sebuah ‘janji’.

Contoh di atas bukan jaminan bagi seorang atlet dapat menikmati apa yang dijanjikan dalam sebuah perjanjian tertulis. Banyak sudah contoh yang terjadi, buntut-buntutnya sangat menyakitkan bagi si atlet itu sendiri maupun daerahnya sendiri. Seperti yang dialami mantan pesenam artistik Lampung pada tahun 2007 lalu, Sepri Haryadi hijrah ke Kalimantan Timur sebagai tuan rumah PON 2008. Bahkan Sepri Haryadi harus gigit jari pasca PON XVI lalu, karena apa yang dijanjikan pengurus KONI Kaltim ‘janji tinggal janji’.

Lalu bagaimana dengan Lampung untuk menghadapi perang urat syaraf (psy-war) yang dilakukan oleh daerah pesaingnya. Ketua Umum KONI Lampung, M Ridho Ficardo tampaknya tetap komit untuk memaksimalkan perjuangan para atlet lokal (Lampung, red) guna meraih prestasi emas dalam usaha mengharumkan nama daerahnya. Dengan mengandalkan beberapa cabor unggulan, Lampung bertekad dan optimis menembus posisi yang lebih baik dibanding torehan di PON XVIII 2012 lalu di Riau yaitu 10 besar. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 15 Desember 2015

No comments:

Post a Comment