Thursday, December 17, 2015

Hari Ibu

Oleh Riko Firmansyah

PERINGATAN Hari Ibu (22 Desember), menjadi bukti eksistensi dan pengakuan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Termasuk peran dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.

Dengan memperingatinya akan membawa pengaruh positif sehingga selalu menghargai hak-haknya sebagai perempuan. Mengingat kemampuannya menjadi motor penggerak dan motor perubahan (agent of change).

“Saya akan ajak keluarga dan ibu mertua berlibur ke Karang untuk memperingati momen ini. Saya bawa mereka menginap di hotel berbintang. Bagaimana Minak, cocok tidak?” Tanya Saleh, pada Minak Tab.

“Itu bukannya memperingati hari ibu. Tapi, mau indehoi dengan Wati. Dan, anak-anak tidak menggangu karena diasuh oleh mertua selama di Karang,” ketus Minak Tab.

Saleh tersipu karena skenario di balik tamasyanya terbongkar.

“Jadi, apa geh?” Tanya Saleh.

“Hari ibu itu terjadi setiap saat. Setiap kali anak keluar rumah selalu mencium tangan ibunya dan meminta didoakan. Itu sudah cukup. Kedudukannya begitu tinggi jadi harus selalu dihormati,” jelas Minak Tab.

Kalaupun ingin dirayakan lebih merupakan sebuah bentuk ekspresi rasa cinta, kasih, sayang, penghormatan, dan pengabdian anak kepada ibunya yang memang amat berjasa dalam hidupnya.

Haknya seorang ibu lebih besar dari pada sekedar disambut sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu mempunyai hak yang harus dilakukan oleh anak-anaknya, yaitu memelihara dan memperhatikannya serta mentaatinya dalam hal-hal yang tidak maksiat di setiap waktu dan tempat.

“Nah, kamu pikir saja bagaimana caranya,” tandas Minak Tab.

Saleh terdiam. Bahkan kopi hangatnya terasa hambar. “Peres banget ngomong dengan orang jadul ini,” guman Saleh, dalam hati.

“Minak, waktu bayi kelamaan dibedong ya?” Tanya Saleh.

Minak Tab, diam. Bahkan melirikpun tidak tapi ekpresi wajahnya tegang.

Melihat itu, Saleh segera menyingkir dari hadapannya. Khawatir kena damprat. []


~ Fajar Sumatera, Kamis, 17 Desember 2015

No comments:

Post a Comment