Thursday, March 31, 2016

Petani Kopi Lampung

Oleh Supendi

Kopi Lampung bisa dikatakan tengah menjadi primadona baik di tingkatan lokal, nasional bahkan dunia. Di tingkat lokal, Pemerintah Provinsi Lampung bahkan telah menasbihkan kopi Lampung sebagai produk unggulan. Di kancah nasional, kopi robusta Lampung menjadi penyumbang terbesar produksi kopi nasional dengan produksi rata-rata 100.000-131.000 ton per tahun.

Luas areal tanam kopi Lampung mencapai 173.670 ha dengan produksi mencapai 900 kg per ha. Sentra produksinya ada di Kabupaten Lampung Barat 65.010 ha, Tanggamus 43.897 ha dan 22.594 ha lainnya tersebar di Waykanan, Lampung Utara, Pringsewu dan Pesawaran.

Sementara di dunia internasional, kopi robusta Lampung sudah sejak lama menembus pasar Asia dan Eropa. Nilai ekspor biji kopi robusta Lampung selama 2015 mencapai USD582,5 juta dengan volume 315.276 ton. Gambaran itu menjadi alasan kuat bagi Pemprov Lampung untuk menjadikannya sebagai produk unggulan.

Tahun ini pemprov melalui Dinas Perdagangan bakal fokus pada peningkatan kualitas dan nilai jual kopi di pasar internasional dengan menghadirkan produk olahan. Upaya promosi akan digiatkan karena rupanya soal tingkat ketenaran di level lokal dan nasional, kopi Lampung masih kalah dibanding kopi daerah lain seperti Kopi Aceh, Gayo bahkan kopi Bali. Sesuatu yang miris bukan?

Upaya pengembangan kopi Lampung itu juga menjadi perhatian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Lampung yang berencana meluncurkan rumah kopi. Suatu tempat berkumpulnya aneka produk kopi Lampung berbagai daerah, sepaket dengan edukasi filosofi kopi dan pembuatannya. Tujuannya agar pengunjung khususnya luar Lampung bisa lebih mengenal dan memahami bahwa kopi Lampung memang memiliki cita rasa kuat dan unggul soal rasa. Lebih dari itu, pengusaha kopi bisa semakin eksis dalam memasarkan produknya.

Namun, ada satu hal yang mungkin terlupakan. Ditengah hingar-bingar itu adakah kebijakan yang secara khusus menyentuh para petani kopi di tingkatan dasar? Sebut saja, sesuatu yang mengatur agar produksi kopi terus meningkat dan yang lebih penting harga jual kopi di tingkat petani terus meningkat bukan justru melorot.

Pada pertengahan 2015 lalu misalnya, saat kurs dolar AS meroket dan menekan Rupiah hingga nyaris di level Rp15 ribu per dolar AS, petani kopi di Lampung toh tak terimbas apa-apa. Harga kopi tetap stagnan di kisaran Rp20 ribuan per kg, bahkan cenderung menurun di kisaran Rp19 ribu per kg. Asumsinya saat kurs AS tinggi, otomatis nilai ekspor kopi juga meningkat. Namun petani tetaplah hanya disibukkan dengan aktifitas menanam dan tak merasakan lebih. 

Pemerintah harus sadar, bahwa harga yang layak (tinggi) merupakan poin utama yang menjadi alasan petani untuk tetap berkebun kopi dan tak mengalihkan lahannya untuk tanaman lain. Bila mau jujur, kian hari dan tahun, sebenarnya areal tanam kopi Lampung terus mengalami penurunan, bukan?

Saya jadi teringat, sekitar tahun 2000an, di desa tempat saya tinggal, Hanakau Kecamatan Sukau Lampung Barat masih dipenuhi kebun kopi. Saat itu meski masa Suharto telah lengser namun harga kopi masih terjaga di kisaran Rp50-Rp60 ribu per kg. Bisa disebut petani kopi sedang jaya-jayanya.

Mau ngopi dari produksi di lahan sendiri tinggal buat. Bahkan saya bisa memilih biji kopi yang jatuh dari pohon kopi setelah dimakan oleh musang yang kini orang menyebutnya sebagai kopi luwak. Rasanya jauh original dibanding produksi kopi luwak di pasaran yang pernah saya cicipi.

Namun, semua itu kini tinggal kenangan. Sulit sekali mencari kopi di tempat yang dikenal sebagai produsen kopi. Lahan tanam kopi kini berganti dengan tanaman palawija (sayuran). Bahkan sekarang bila mau ngopi kami harus membeli kopi bubuk di warung, layaknya orang-orang perkotaan.

Pergantian lahan tanam kopi massal itu disebabkan karena prospek yang tak lagi menjanjikan seiring terus menurunnya harga jual. Derita petani semakin berat lantaran musim panen kopi hanya berlangsung sekali dalam setahun. Sehingga membongkarnya dan menggantinya dengan palawija adalah pilihan yang bisa dibilang tepat, karena lumrahnya sayuran bisa panen (paling sedikit) empat kali dalam setahun.

Nah cerita kelam itu (bagi saya) hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah, bahwa petani kopi butuh kepastian harga bukan ketidakpastian atau fluktuasi. Mereka harus mempertaruhkan pendapatan yang didapat sekali dalam setahun. Bila tidak mendapat kepastian dan jaminan dari pemerintah, bukan tak mungkin areal tanam kopi Lampung perlahan berganti muka. Dan jargon kopi unggulan Lampung hanya tinggal kenangan. []


~ Fajar Sumatera, Kamis, 31 Maret 2016

No comments:

Post a Comment