Tuesday, March 15, 2016

Menekan Kriminalisasi Anak

Oleh Abdullah Al Mas’ud


MIRIS. Menyaksikan adegan reka ulang siswa SMA di Kota Bandarlampung yang membunuh teman mainnya masih tercatat sebagai siswwa SMKN 2 Bandarlampung dengan luka 108 lubang tusukan beragam senjata tajam. Kasusnya dipicu persoalan perempuan.

Selain itu persoalan pencurian dan begal sepeda motor di sejumlah kabupaten dan kota lainnya menambah deretan kasus kriminal oleh siswa sekolah di Lampung. Siapa yang disalahkan, anak yang salah 100 persen, orang tua kah, atau guru?

Untuk mendidik anak-anak tak terjerunus ke persoalan kriminalitas lebih banyak tentu sudah menjadi tugas semuanya, termasuk guru, orang tua, pejabat, dan lingkungan.

Serangkaian kejadian memiriskan itu hendaknya bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua agar lebih aktif menjaga dan mengawasi anak-anaknya. Pengawasan tak saja terhadap perilaku kekerasannya, tetapi juga sumber persoalannya.

Tindak kriminalitas merupakan ekses dari persoalan lain seperti gaya hidup dan lunturnya norma sosial. Pada sisi gaya hidup, kita semua tahu, masyarakat kita cenderung mendewakan kebendaan ketimbang nilai-nilai moralitas.

Begitulah, sebagaimana para sosiolog sering mengingatkan, kenakalan anak-anak bernjak remaja sesungguhnya adalah gejala penyimpangan sosial yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.

Orang tua banyak yang mengabaikan kondisi anak-anak karena kesibukannya pada pekerjaan. Di sekolah juga tak jarang guru yang sibuk dengan masalah lain, di rumah juga akibat kesibukan orang tua sehingga pendidikan anak diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Padahal, secara psikologis, anak-anak yang tumbuh menjadi remaja sedang mengalami transisi kejiwaan.

Pada usia transisi itu, kontrol diri mereka sangat lemah. Mereka tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima atau dapat diterima oleh lingkungannya. Ketika telah dapat mengetahui perbedaannya pun,  mereka tidak bisa mengembangkan kontrol dirinya secara baik. Di sinilah pentingnya peran orangtua agar tidak mengabaikan kondisi anak-anaknya.

Lalu, dari sisi pemerintah, telah lama kita sadari, pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sesungguhnya bukan tujuan pembangunan yang sebenarnya. Pertumbuhan ekonomi penting, tapi jangan mengabaikan nilai-nilai budaya dan moralitas sosial. Pembangunan tak saja untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan secara lahiriah, tapi juga kesejahteraan batiniah.

Dalam kerangka itu, keberhasilan pembangunan pendidikan, misalnya, tidak bisa hanya diukur dengan pertumbuhan jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusannya, dan sebagainya.

Demikian halnya pembangunan kesehatan tak bisa hanya dilihat dari jumlah fasilitas kesehatan, tak hanya dilihat dari kesehatan secara fisik, tapi juga kesehatan jiwanya.

Tidak berimbangnya pemenuhan kebutuhan lahir dan kebutuhan batin harus segera mendapat perhatian dari semua pihak. Hal ini penting, agar perilaku menyimpang bisa dikendalikan secara baik.

Tak saja perilaku menyimpang seperti kriminalitas pada anak-anak dan remaja, tetapi juga perilaku menyimpang di kalangan orangtua.

Dari sisi pihak penegak hukum, akan lebih baik jika aparat kepolisian dan kejaksaan memberikan pendidikan hukum soal bahayanya dan akibat dari perbuatan hokum itu sendiri yang bakal merusak masa depan mereka.

Dengan demikian, sebaiknya kita bersama-sama membangun ahlak generasi mendatang untuk menekan mereka terjerumus dalam kasus kriminalitas. Sebaiknya hal itu dijalankan sedini mungkin. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 15 Maret 2016

No comments:

Post a Comment