Tuesday, March 8, 2016

Apa Kabar Bank?

Oleh Abdullah Al Mas’ud

BANK Indonesia (BI) rate yang diturunkan 25 bps di level 7 persen pada oertengahan Februari lalu, sebagai acuan suku bunga bank seharusnya diikuti dengan penurunan bunga kredit perbankan. Dengan begitu, logikanya Pasar Uang Antar Bank (PUAB) akan turun, Pertanyaannya, apakah BI rate diikuti kredit perbankan?

Penurunan suku bunga acuan BI sebesar 25 bps sudah sesuai perhitungan dan berdasarkan data independen BI.  Namun, fakta di lapangan turunnya suka bunga acuan (BI Rate) dari 7,25 persen menjadi 7 persen, hingga kini belum diikuti oleh Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) bank-bank lain.

Sebuah bank milik daerah malah beralasan BI Rate merupakan tingkat suku bunga acuan belum tentu sama dengan kondisi tingkat suka bunga di pasar keuangan karena BI rate hanya sebagai refernsi  sehingga belum tentu sama di pasar.

Dalam menentukan tingkat suku bunga,  bank tidak hanya menjadikan BI Rate sebagai acuan tetapi juga mempertimbangkan berbagai risiko (risk) yang ada di pasar. Risiko tersebut yang menentukan besaran imbal hasil (yield).

Turunnya BI Rate merupakan sinyal bahwa pemerintah tengah menggenjot pertumbuhan ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan.

Perbankan memiliki beberapa pendekatan dalam menyikapi penyesuaian suku bunga oleh bank sentral.  Meskipun demikian, perbankan tentu tidak bisa langsung melakukan penurunan suku bunga.

Ada kemungkinan masih memerlukan waktu untuk direspons oleh bank-bank. Tapi, di bank-bank itu sendiri masing-masing mempunya portfolio yang berbeda-beda dan mungkin punya segmentasi yang berbeda-beda.

Tidak hanya itu, kondisi perekonomian saat ini pun masih cenderung melambat. Sehingga, diharapkan perbankan dapat merespons situasi yang ada, kemudian baru melakukan penyesuaian setelah menganalisis situasi.

Dalam kondisi pelemahan ekonomi, baik di domestik maupun global, idealnya BI rate diikuti bank lain karena suku bunga harus rendah. Untuk itu, suku bunga mesti diturunkan untuk mendorong kegiatan produktif. Konsumsi domestik saat ini masih memberikan andil hampir 60 persen dalam pertumbuhan ekonomi. Masyarakat harus didorong untuk belanja. Terlebih lagi saat ini ada momentum kenaikan upah minimum provinsi (UMP). Namun, hampir seluruh bank belu  mau menurunkan bunga.

Konsumsi domestik di saat pelemahan global harus menjadi sumber utama motor pertumbuhan ekonomi. Tentu saja itu harus didukung oleh investasi, baik pemerintah maupun swasta. Untuk investasi pemerintah, belanja modal khususnya infrastruktur harus dipacu.

Perekonomian kini berada dalam tren meningkat setelah mencapai titik terendah. Momentum kenaikan pertumbuhan ini perlu dijaga dengan memberikan stimulus berupa penurunan suku bunga.

Jadi kita tunggu saja kabar gembira dari bank-bank yang mau menurunkan bunga. Kapan? []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 8 Maret 2016


No comments:

Post a Comment