Monday, April 25, 2016

Penguasa…Pengusaha

Oleh Abdullah Al Mas’ud


MINGGU depan buruh mengancam kembali beraksi memperingati hari buruh yang jatuh pada 1 Mei. Mereka menyuarakan tuntutan terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan. Alasannya pemerintah selaku penguasa masih pro pengusaha sehingga belum bisa menjamin kesejahteraan buruh sesuai tuntutan.

Tuntutannya tentu soal kenyamanan kerja seperti tak ada lagi pemecatan sepihak, kepastian upah, pembayaran lembur sesuai aturan kerja, dan kepastian hidup berbagai tunjangan, termasuk hari tua bagi kaum buruh.

Kepastian semua itu adalah dambaan setiap orang, tak terkecuali buruh. Tetapi, untuk bisa seperti itu, banyak prasyarat yang harus terpenuhi. Tak saja terpenuhi oleh pemerintah, tetapi juga oleh para pelaku usaha dan para buruh itu sendiri.

Tiga komponen yakni pengusaha, buruh, dan pemerintah dalam bahasa UU Ketenagakerjaan (UU No 13 Tahun 2003) disebut sistem hubungan industrial. Ketiganya harus saling bersinergi melalui lembaga tripartite, yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial.

Sangat mungkin karena belum efektifnya forum itu maka para buruh merasa perlu turun ke jalan mengajukan sejumlah tuntutan.

Pada era industrialisasi ketika sistem kapitalisme dijadikan pilar utama sistem produksi, hubungan buruh dengan pengusaha atau pemilik modal terasa timpang. Bagi pemilik modal, buruh diperlakukan sebagai alat produksi. Upah mereka tidak ditetapkan berdasarkan pembagian keuntungan dari hasil produksi, melainkan diperhitungkan berdasarkan murah atau tidaknya tenaga mereka.

Para pemilik modal memiliki daya tawar tinggi ketika di sisi lain banyak pengangguran berebut mencari pekerjaan. Sedangkan buruh berdaya tawar lemah karena keterbatasan keahlian mereka. Tidak semua, memang, mengingat tak sedikit perusahaan mampu menjalankan fungsi komunikasinya secara efektif dengan para pekerjanya.

Komunikasi melalui lembaga bipartite (antara pengusaha dan buruh) itu penting, untuk bisa saling memahami kondisi masing-masing, sebelum masalahnya masuk ke lembaga tripartite yang melibatkan pemerintah. Di sinilah pentingnya sistem kekeluargaan. Pengusaha memahami kemauan pekerja, sebaliknya pekerja memahami persoalan pengusaha. Dibutuhkan transparansi di sini. Tanpa transparansi, para pekerja atau buruh hanya akan merasa sebagai sapi perah penguasha.

Poin yang mesti digarisbawahi adalah bagaimana agar para pengusaha bisa memanusiakan manusia. Itulah sikap mental yang dikehendaki oleh hubungan industrial sesuai dengan ideologI bangsa, yakni Pancasila.;

Sikap mental untuk membangun kesadaran bahwa buruh atau pekerja adalah manusia yang memiliki martabat, harkat, dan harga diri. Dengan demikian, memperhatikan martabat, harkat, dan harga diri pekerja merupakan kewajiban dan tugas kemanusiaan.

Sebaliknya, dengan transparansi seperti itu, bagi kaum pekerja atau buruh, selain mengajukan hak-haknya mereka juga bisa merasa ikut memiliki, ikut memelihara dan mempertahankan, dan terus-menerus mawas diri. []


~ Fajar Sumatera, Senin, 25 April 2016


No comments:

Post a Comment