Thursday, April 7, 2016

Menakar Kualitas Biodiesel

Oleh Supendi

KITA patut berbangga karena perusahaan pengolah biodiesel berskala internasional telah menancapkan bisnisnya di Lampung. Beroperasi di Jalan Soekarno-Hatta KM 10 Kecamatan Way Lunik, Panjang Bandarlampung dengan luas areal 15.000 hektare, PT Louis Dreyfus Company (LDC) siap mendukung program pemerintah untuk perlahan beralih ke energi hijau.

Dalam perjalanannya, LDC berkomitmen untuk menghasilkan olahan biodiesel yang berkualitas untuk didistribusikan ke PT Pertamina. Upaya ini dilakukan menyusul keinginan pemerintah untuk meningkatkan persentase campuran biodiesel ke dalam solar hingga 20% (B20) guna menurunkan emisi gas rumah kaca.

Kementerian ESDM mencatat, dalam bauran energi primer nasional, penggunaan energi masih sangat didominasi oleh energi fosil yang tidak terbarukan. Sebagai gambaran, penggunaan minyak bumi mencapai 42,99%, gas bumi 18,48% dan batubara sebesar 34,47%. Sedangkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) hanya mencapai 4,07%. 

Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan.

Berbagai literatur menyebutkan, biodiesel lebih aman bagi lingkungan dibandingkan dengan diesel konvensional. Produksi dan penggunaan biodiesel melepaskan lebih sedikit emisi (78%) dibandingkan dengan diesel konvensional. Sebuah studi di Amerika Serikat bahkan menyebut emisi karbon dioksida yang dikeluarkan biodiesel sekitar 75% lebih rendah dibandingkan yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil.

Bila dipakai untuk kendaraan, biodiesel memiliki sifat pelumas yang sangat baik, secara signifikan lebih baik daripada bahan bakar diesel konvensional, sehingga dapat memperpanjang masa pakai mesin.
Namun, di balik berbagai keunggulannya itu, biodiesel juga punya sisi kelemahan yang tak bisa dianggap sepele. Kandungan energi biodiesel 11% lebih rendah dari solar, yang berarti kemampuannya dalam menghasilkan tenaga lebih kecil dibandingkan bahan bakar fosil.

Biodiesel juga 20 kali lebih rentan terhadap kontaminasi air dibandingkan dengan diesel konvensional yang bisa menyebabkan korosi dan merusak filter pada piston (sumbat geser yang terpasang di dalam silinder mesin pembakaran). Sehingga menggunakannya untuk bahan percampuran solar dalam berkendara, sama saja mempertaruhkan kondisi mesin kendaraan.

Terlepas dari kapasitas LDC yang bisa memproduksi 420.000 ton biodiesel dan 50.000 ton clycerin mentah dengan menggunakan bahan baku kelapa sawit, kita juga perlu mendapat gambaran soal kualitas biodiesel yang bisa dihasilkan.

Pertanyaannya, mampukah LDC meminimalisir kerentanan biodiesel dari kontaminasi air berlebih dan memacu energi biodiesel yang dihasilkan? Bila tak cukup mampu, komitmen untuk menyuplai biodiesel ke Pertamina sebagai bahan pencampuran solar hingga 20% mesti diurungkan. Karena masyarakat pada intinya lebih menginginkan untuk mendapatkan bahan bakar yang berkualitas tanpa menimbulkan kerugian. []


~ Fajar Sumatera, Kamis, 7 April 2016


No comments:

Post a Comment