Friday, April 15, 2016

Ironi Penyaluran Rastra

Oleh Supendi


KEHADIRAN beras keluarga sejahtera (Rastra)—sebelumnya dikenal raskin, menjadi penawar bagi masyarakat kelas bawah ditengah melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Harga penebusan Rastra yang hanya Rp1.600 per kg terasa lebih ringan dibanding harus membelinya di pasaran dengan harga diatas Rp10 ribuan per kg.

Namun, bila dengan harga semurah itu masyarakat masih sulit mendapatkan Rastra, lantas dimana permasalahannya? Bila Rastra memang dirasa menjadi solusi bagi masyarakat miskin, kenapa pula rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) disebut berat menebusnya?

Data Badan Urusan Logistik (Bulog) Divre Lampung menunjukkan, realisasi penyaluran Rastra di Provinsi Lampung pada triwulan I 2016 (Januari-Maret) terbilang rendah. Persentasenya baru mencapai 62,3% (provinsi), jauh dibawah rata-rata nasional 75,15%.

Penyaluran Rastra paling rendah terjadi di Tulangbawang Barat yang baru terealisasi 36,82%. Sedangkan persentase penyaluran tertinggi terjadi di wilayah Kota Metro yang mencapai 87,65% atau diatas rata-rata nasional.

Daerah lain yang penyalurannya masih berada dibawah rata-rata provinsi yakni Lampung Tengah 58,01%, Lampung Timur 58,31%, Lampung Barat 50,10%, Waykanan 55,52%, Pesisir Barat 48,77%, Tulang Bawang 55,70% dan Mesuji yang baru terealisasi 42,42%.

Sebaliknya daerah yang penyalurannya diatas provinsi mencakup Kota Bandarlampung 79,11%, Tanggamus 68,49%, Pesawaran 75,63%, Pringsewu 67,26%, Lampung Utara 65,84% dan Lampung Selatan mencapai 64,03%.

Bulog beralasan, masih rendahnya tingkat penyaluran di berbagai daerah tersebut dikarenakan belum banyaknya rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) yang melakukan pembayaran atau penebusan kepada Bulog. Disisi lain upaya sosialisasi dari pemerintah daerah khususnya kepala pekon kepada masyarakat juga dirasa masih kurang. 

Bila dilihat dari sisi harga, rasanya tidak jadi masalah bila RTS harus menebus dengan harga Rp1.600 per kg. Kalaupun benar karena persoalan ini, sudah semestinya Bulog merevisi sistem cash and carry (tebus baru diberi) dengan misalnya menggratiskannya dulu bagi warga yang benar-benar tak punya uang. Atau bisa saja Bulog bekerjasama dengan pemerintah atau lembaga lainnya untuk memberikan dana talangan sementara.

Bila bersandar pada alasan karena kurangnya sosialisasi, pantaskah alasan klasik ini selalu diulang, namun kunjung dibenahi? Mungkinkah karena kualitas berasnya yang memang rendah sehingga masyarakat menjadi ogah mengkonsumsinya? Ataukah ada permainan oknum dibawah sehingga Rastra belum sampai kepada tangan penerima?

Pemerintah khususnya yang duduk disana juga tak bisa cuma berpangku tangan pada laporan semata. Pokoknya inti dari semua upaya itu, untuk bagaimana Rastra bisa benar-benar sampai pada yang berhak menerima. []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 15 April 2016


No comments:

Post a Comment