Tuesday, May 24, 2016

Konkret Bukan Wacana

Oleh Supendi

MENJELANG pelaksanaan bulan Ramadan dan Idul Fitri, sudah lumrah bagi masyarakat kita menghadapi tekanandengan melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok di pasaran. Seakan sudah menjadi budaya, kondisi itu berulang setiap tahunnya. Namun, solusi penyelesaiannya tak kunjung ada.

Pada masa puasa Ramadan apalagi lebaran, sudah jadi tradisi bila kebutuhan setiap masyarakat khususnya kalangan ibu rumah tangga meningkat drastis dari biasanya. Ada istilah bila dalam keseharian asupan protein cukup dengan mengkonsumsi tempe, namun di momen puasa dan lebaran, menunya wajib daging, baik ayam ataupun daging sapi.

Fenomena ini tentu menyiksa masyarakat kita.  Disatu sisi ingin menyajikan masakan “mewah” bagi sanak famili namun disaat bersamaan harus merogoh kocek lebih dalam. Namun bagi sebagian orang, kondisi ini menjadi peruntungan untuk mengeruk keuntungan besar. Lalu dimanakah posisi pemerintah kita?

Bila kita mencermati pemberitaan sebelum pelaksanaan bulan Ramadan, dimana-mana, di tiap daerah dari pusat hingga pelosok, aparatur pemerintah dibidangnya selalu mewacanakan untuk menekan dan menstabilkan harga kebutuhan pokok pada masa Ramadan dan lebaran. Berbagai cara disampaikan, mulai dari menjamin ketersediaan stok meski dengan cara impor, operasi pasar hingga menggelar pasar murah.

Cara terakhir boleh jadi paling digemari masyarakat kita dan memang acap kali terlaksana. Namun wacana penyediaan stok dan operasi pasar apakah benar-benar sudah terealisasi dan yang paling penting adakah dampaknya?

Bicara stok, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi bilang, kenaikan harga daging dan pangan lainnya pada masa Ramadan khususnya jelang perayaan Idul Fitri sudah menjadi masalah klasik. Meningkatnya permintaan masyarakat secara drastis disebut menjadi indikator utama yang mengerek harga daging. Meski stok daging di feedloter cukup bahkan berlebih, namun takkan banyak mempengaruhi stabilitas harga daging di pasaran.

Namun di luar itu, jangan lupakan ulah para spekulan dalam hal ini distributor barang yang kerap memainkan harga. Dengan alasan permintaan tinggi, mereka acapkali menaikkan harga semaunya, sehingga barang yang sampai di pedagangpun kadung tinggi. Jadilah masyarakat yang kena imbasnya.

Bila kenaikan harga sudah menjadi tradisi dan kerap berulang setiap tahunnya, bukankah pemerintah harus mencari alternatif solusi yang berbeda pula. Karena faktanya memang solusi yang ditawarkan selama ini tak mampu menjawab permasalahan yang ada.

Mengacu kebijakan yang diterapkan Kemenhub terkait ambang batas tarif angkutan lebaran, mungkin bisa pula diterapkan untuk menekan harga pangan. Tarif angkutan dari berbagai moda transportasi dan jurusan ditetapkan melalui perda dan dipampang di ruang terbuka khususnya terminal. Sehingga calon penumpang bisa tahu tarif yang berlaku dan bisa menuntut pengelola bus bila menaikkan tarif diluar ketentuan.

Pemerintah dalam hal ini Dinas Perdagangan seharusnya mengeluarkan kebijakan serupa dengan menerapkan pembatasan harga wajar untuk barang kebutuhan pokok pada masa Ramadan dan Idul Fitri. Aturan diterapkan mulai dari hulu ke hilir, mulai dari pemasok, distributor hingga pedagang di pasaran. Bila terbukti melanggar, sanksi tegas wajib diberikan.

Dengan adanya perda tentang batas harga itu, masyarakat jadi punya panduan saat berbelanja dan tak menjadi objek perasan. Namun tentu saja menerapkan kebijakan ini tak semudah membalikkan telapak tangan, disamping harus memiliki keberanian, pemerintah juga harus mau berkorban, semisal memberikan subsidi harga barang. []



~ Fajar Sumatera, Selasa, 24 Mei 2016

No comments:

Post a Comment