Thursday, February 4, 2016

Bensor

Oleh Riko Firmansyah

DANA desa mencerminkan kebijakan frustrasi terhadap sistem birokrasi---meski kampanye reformasi birokrasi makin menggema---dengan memangkas jalurnya yang panjang dan berbelit seperti naga.

Pusat mengucurkan Rp20,7 triliun, pada 2015. Karena hanya terserap 25 persen saja akan berlanjut dan ditambah menjadi Rp46,9 triliun, tahun ini.

Tujuannya, peningkatan aspek pembangunan baik prasarana fisik maupun nonfisik dalam rangka mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk pemberdayaan dan perbaikan taraf hidupnya.

Nyatanya, terbentur aspek regulasi kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia.

Mengingat belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa, tumpang tindih kewenangan Kementrian Desa (Kemendes) dengan Direktorat Jenderal Bina Pemerintah Desa Kemendagri.

Pembagian dana desa dalam PP No. 22/2015 tidak transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43/2014 kurang berkeadilan.

Kebutuhan desa satu dengan lainnya berbeda. Baik dari sisi geografi dan kebutuhan desa itu sendiri. Selain itu, kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban tidak efisien akibat regulasi dan tumpang tindih.

Kemudian, kerangka waktu situs pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi, satuan harga baku barang atau jasa yang dijadikan acuan dalam menyusun APBDesa belum tersedia, dan transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban rendah.

Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi. Serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan.

Pada aspek pengawasan, terdapat persoalan efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah,

Lalu, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah dan ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.

Serta SDM terdapat potensi persoalan yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi karena memanfaatkan lemahnya aparat desa.

“Apaan sih Minak. Kok niat baik pusat dinilai negatif begitu. Harusnya bagaimana?” protes Saleh.

Stop dana desa. Salurkan saja ke pemda melalui DAK dan DAU. Sehingga Bapeda dan PU bisa merancang penggunaannya dengan mempertimbangkan musrenbang.

“Dengan begitu tak perlu ada kebijakan bensor (ben tekor asal kesohor: biarlah rugi asal terkenal),” tandas Minak Tab. []


~ Fajar Sumatera, Kamis, 4 Februari 2016

No comments:

Post a Comment