Monday, February 22, 2016

Antisipasi LGBT

Oleh Abdullah Al Mas’ud


FENOMENA lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender (LGBT) di Provinsi  Lampung kian mengkhawatirkan. Pelaku penyimpangan orientasi seksual yang sebelumnya tabu, kini bukan kian nyata.

Penyimpangan perilaku seksual yang pada awalnya dipandang tidak bermoral kemudian dibongkar menjadi perilaku normal. Penyimpangan perilaku seksual dikonstruksihanya merupakan keberagaman orientasi seksual seperti halnya perbedaan suku, agama, ras, dan budaya dalam masyarakat.

Perilaku LGBT dianggap manusiawi dengan dalih tidak merugikan orang lain. Tidak ada yang salah dalam perilaku LGBT dengan pembenaran selama prilaku seksual yang terjadi aman, nyaman dan bertanggung jawab.

Masyarakat dituntut memberikan toleransi pada perilaku menyimpang LGBT. Pelaku LGBT mencari pengakuan identitas di masyarakat dari sudut pandang seksualitas.

Penentangan atas perilaku LGBT kemudian dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kelompok LGBT menuntut hak untuk bisa ‘hidup layak’ sesuai orientasi seksual mereka, mengekspresikan penyimpangan orientasi seksual sebebas-bebasnya.

Gerakan pro LGBT memandang orang-orang dengan orientasi seksual menyimpang termasuk dalam kaum minoritas yang mengalami penindasan dari masyarakat terutama oleh kaum agamawan.

Lebih jauh lagi, kelompok LBGT sebagai subordinat disebutkan berkemampuan melihat fenomena secara lebih jelas sehingga dapat mengubah relasi di dunia menjadi lebih manusiawi. Ketidaklogisan asumsi relativisme budaya menjadi penyebab rapuhnya pandangan ini.

Namun, di sisi lain, apakah prilaku kaum LBGT termasuk dalam golongan kesehatan jiwa?  Sejauh ini belum ada yang berani memberikan secara saklek soal kaitan LGBT dan dan kesehatan jiwa.

Menyadur definisi organisasi kesehatan dunia (WHO), kesehatan jiwa adalah keadaan ketika setiap individu menyadari potensinya, dapat mengatasi stres yang normal dalam kehidupan sehari-hari, dapat bekerja dengan produktif dan bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Oleh karena itu, cara pandang kita terhadap kesehatan jiwa harus diubah. stigma masalah kesehatan jiwa hanya terkait dengan gangguan jiwa berat harus dihilangkan. Penanganan kesehatan jiwa mesti diarahkan pada  peningkatan kualitas kesehatan jiwa rakyat Indonesia. Dengan begitu, mereka yang rentan atau berisiko mengalami gangguan jiwa bisa diatasi sedini mungkin.

Jangan sampai, misalnya, negara ini diurus oleh mereka yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Apa lagi, seperti juga didefinisikan oleh WHO, kesehatan jiwa adalah hidup sehat, mampu bersaing, serta menerima kelebihan dan kekurangan diri serta orang lain. []


~ Fajar Sumatera, Senin, 22 Februari 2016

No comments:

Post a Comment