Friday, October 7, 2016

Singkong Membawa Hikmah

Oleh Supendi


ADA istilah bijak bilang, setiap masalah pastilah memiliki hikmah. Kita sebagai makhluk Tuhan haruslah siap menghadapi berbagai ujian (semoga) bukan hukuman dan mengambil pembelajaran berharga. Tak jarang ujian semakin membuat kita kuat, namun permulaan dari semua itu adalah kita didorong untuk lebih kuat dalam berpikir dan bertindak agar terbebas dari belenggu masalah.

Masalah anjloknya harga singkong di Lampung yang sempat menjadi trending buah bibir di kalangan masyarakat Lampung bahkan nasional ini, juga bisa disebut sebagai ujian. Terlepas dari kegusaran para petani, kondisi ini tentu mengajarkan petani untuk semakin tabah dan “dipaksa” untuk berpikir bagaimana menyiasati agar bencana eh ujian ini tak lagi berulang.


Anjloknya harga singkong hingga tak menghasilkan apa-apa bagi petani ini juga membuka mata kita, bahwa pemerintah rupanya tak begitu serius merawat komoditas yang dibilang unggulan ini. Pun halnya pemerintah pusat, yang dituding menjadi biang keladi lantaran membuka lebar-lebar kran singkong impor.

Kondisi ini juga memaksa para birokrat untuk merumuskan cara bagaimana menstabilkan kembali harga singkong. Pemerintah daerah ini mencoba bikin skenario harga jual singkong agar stabil dikisaran Rp1.000 per kg juga meminta Presiden agar meninjau kembali kebijakan impor singkong.

Berita mengenai anjloknya harga singkong ini juga mendorong berbagai kalangan untuk mencarikan solusi terbaik bagi para petani, tentu ini untuk kedepannya bukan mengatasi masalah saat ini.

Dimulai dari usulan mengenai pengembangan produk singkong menjadi bioetanol. Adalah Ketua Umum Gabungan Koperasi Pertanian Provinsi Lampung, Niti Soedigdo yang mencetuskan bioetanol berbahan baku singkong skala rumah tangga.

Niti bilang, pengambangan bioetanol bisa menjadi salah satu antisipasi dan solusi mengatasi harga singkong agar tidak terus terpuruk semakin rendah. Langkah ini juga sekaligus terobosan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan di Lampung.

Produsen skala rumahan dapat mengembangkan kilang-kilang hijau dengan mengolah singkong di halaman rumah--termasuk di perkotaan--menjadi energi ramah lingkungan. Pengembangan bioetanol berbahan baku singkong itu akan menjamin penyerapan hasil panen singkong petani dengan harga bersaing yang dipastikan akan menguntungkan bagi petani.

Ada lagi Sahrudin Aden, Ketua Gabungan Petani Singkong Indonesia (Gapesi) Provinsi Lampung yang mengusulkan agar para petani tak lagi menjual singkong mentah melainkan terlebih dulu mengolahnya menjadi tepung atau bahan penganan dari singkong yang bisa langsung dikonsumsi.

Produk itu bisa berupa cassava chip, modification cassava flour (mocaf), keripik, chip gaplek, tiwul, opak, dan produk olahan serta siap pakai (konsumsi) lainnya. Lainnya berupa pengembangan produk singkong menjadi makanan seperti keripik singkong, getuk, combro, dan masih banyak lainnya.

Terakhir, Staf Ahli Gubernur Bidang Pembangunan Provinsi Lampung Fahrizal Darminto menuturkan, Pemerintah Provinsi Lampung berencana mengembangkan singkong sebagai pembangkit energi listrik sebagai salah satu solusi mengatasi krisis listrik di daerah ini.

Teknologi yang digunakan dengan memanfaatkan singkong menjadi biomas pembangkit listrik. Dengan adanya pembangkit listrik diharapkan harga singkong juga meningkat. Namun tentu ini masihlah dalam tahapan wacana, dan perlu waktu panjang untuk merealisasikannya—kecuali bila komitmen itu bukan sebatas wacana belaka.

Okelah…kita tunggu saja, mana dari usulan-usulan itu yang bisa diwujudkan. Atau tak terwujud pun tak apa-apa, yang petani singkong tak lagi menderita. Lebih dari itu, menjaga dan mengantisipasi agar tak menjadi masalah nampaknya lebih bagus daripada mencarikan solusi setelah masalah terjadi. []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 7 Oktober 2016

No comments:

Post a Comment