Wednesday, July 8, 2015

Diskriminasi Kata

Oleh Abdullah Al Mas’ud

KATA penjahat merupakan salah satu kata yang laku dijual di media massa, baik cetak, portal, maupun elektronik. Sayangnya, pejabat yang melakukan kejahatan tidak disebut sebagai penjahat, tetapi memakai istilah oknum.

Tadi malam, saya kedatangan teman-teman wartawan senior dari tiga  media harian di Lampung. Kami berkumpul di ruang rapat redaksi Fajar Sumatera, membahas persoalan kata penjahat yang tak berlaku buat pejabat baik sipil maupun militer karena untuk mereka pakai oknum. Berarti ada diskriminasi kata terhadap warga sipil.

Obrolan soal kata penjahat ini bias sampai setengah jam dan menghabiskan segeles kopi dan berbatang-batang rokok. Berikut kesimpulan hasil obrolannya.

Bila seorang pejabat melakukan pelecehan seksual, dalam peberitaan kenapa harus ditulis dengan bahasa yang agak sopan, misalnya dalam judul tertulis Oknum PNS Mengutil di Pasar. Atau bagi aparat akan ditulis dengan judul serupa: Oknum Polisi Mengutil di Pasar.

Tapi jika warga sipil biasa yang melakukan pencurian di toko akan ditulis dengan judul tanpa oknum tetapi memakai langsung ke presdiket, misalnya: Ibu Rumah Tangga Mengutil di Pasar, atau ABG mengutil, tanpa lagi tertulis oknum ibu rumah tangga atau oknum ABG.

Bahasa lain yang halus dipakai buat para pejabat yang meggelapkan keuangan Negara, pelaku media bakal menulis dengan susunan kalimat yang sopan, seperti {dugaan korupsi atau setelah putusdan siding akan tertulis judul: Oknum Gubernur Terbukti Korupsi. Padahal mengacu pada penulisan tanpa diskriminasi, bisa tertulis seperti ini: Gubernur Banten Korupsi.

Bahkan, jika pihak ke;polisian meringkus satu dari tiga pengedar narkotika, pada judul berita akan dibesar-besarkan dengan memakai kata menyeramkan dan kesuksesan, seperti: Polisi Meringkus Gembong Narkoba.

Begitu juga saat meringksu tiga pencuri. Dalam berita akan tertulis: Polisi Bongkar Komplotan Pencuri Khusus Rumah Kosong, Meski pada kenyataan, ketiga pencuyri itu hanya mencuri rumah yang kosong.

Dari pembahasan dengan teman-teman memang tak ada notulen, tetapi hanya pepesan kosong. Meski demikian masih ada manfaatnya dari obrolan ini. Setidaknya, bias menyadarkan para redaktur untuk tidak mendiskriminasikan antyara pejabat dan warga biasa dalam pemberitaan. []


~ Fajar Sumatera, Rabu, 8 Juli 2015



No comments:

Post a Comment