Tuesday, November 8, 2016

Sesat Pikir

Oleh Supendi


DEMO 4 November beberapa hari lalu boleh jadi tercatat sebagai sejarah aksi demo dengan massa terbanyak di negeri ini. Terlepas dari akhir demonstrasi yang diwarnai bentrok sebab ulah para provokator, demo penuntutan hukum atas dugaan penistaan agama Gubernur DKI non aktif Basuki Cahya Purnama alias Ahok ini sudah menyita perhatian kita semua. Apalagi beberapa stasiun televisi dan portal online menyiarkannya secara langsung.

Tulisan ini bukan hendak membahas soal isu yang berkembang mulai dari kepentingan penuntutan penistaan agama hingga adanya intrik politik menjelang pilkada DKI. Melainkan lebih kepada bagaimana sikap dan opini publik dalam meresponnya.


Tak dipungkiri, sebelum demonstrasi terjadi pun, berbagai opini publik sudah merongrong sana-sini. Mulai dari yang sifatnya mendukung, berpikir miring, netral bahkan hingga menuding adanya kepetingan politik atau istilah lain menyebut adanya yang menunggangi. Tentu saja semua itu bergulir begitu saja di sosial media. Perang opini pun sudah terjadi duluan sebelum aksi demo benar-benar dimulai.

Puncaknya saat aksi 4 November. Saya pribadi dan mungkin kita semua dibuat takjub dengan banyaknya massa aksi yang hadir mengikuti demo. Beberapa stasiun televisi bahkan menyebut jumlahnya menembus angka ratusan ribu orang bukan lagi puluhan ribu atau ribuan. Yang datangpun tak hanya pulau Jawa melainkan dari berbagai penjuru negeri. Hebat bukan?

Namun yang tak kalah hebat bagaimana fenomena ini mendapat respon beragam dari publik. Aksi demo yang disiarkan secara lansgung itu, dari detik ke detik berhasil memancing respon yang tak henti-hentinya bahkan hingga dini hari menjelang demo berakhir.

Ada yang menarik sebenarnya dari bagaimana cara publik melihat kejadian dan menafsirkan melalui opininya dan kadang serampangan juga. Tentu yang melihat dari tayangan televisi sangatlah berbeda dengan yang benar-benar turun ke jalan dan mengetahui riil kejadian. Ini semacam pengamat yang muncul secara dadakan yang ingin dibilang kekinian dengan ikut-ikutan berkomentar. Apa yang keluar umumnya penyimpulan dari informasi yang didapat dari media tertentu yang ditonton dan dibaca.

Saya juga menyaksikan demo ini tak hanya dari satu statisun televisi saja. Setidaknya ada 2 hingga 3 channel saya buka bergantian untuk mendapat sudut pandang berbeda. Benar saja, apa yang dicari benar-benar didapat, sudut pandang pengambilan berita dari masing-masing media amatlah berbeda. Untungnya sedikit-sedikit saya mengerti apa bendera dan kepentingan media yang menyiarkan itu. Tapi sayangnya, ada ribuan bahkan jutaan orang yang hanyut dan mengikuti arus informasi begitu saja tanpa mau menyaringnya.

Ujungnya, ya berbagai opini aliran putih dan hitam saling bentrok juga di media sosial. Parahnya lagi banyak yang sampai mengutip dan membagikan tautan informasi pendukung yang sebenarnya tak valid atau sumbernya justru tak jelas. Inilah yang kemudian menimbulkan sesat pikir bagi sebagian orang dan secara tak sadar berupaya memperkeruh suasana juga pikiran.

Media sosial memang semacam pasar, dimana banyak orang dengan berbagai latar belakang dan kepentingan bertemu. Ia bukan lagi ruang pribadi yang mengkultuskan kebebasan berekpresi si empunya akun, namun sudah menjadi ruang publik, yang siapapun berhak berkomentar atas apa yang ditulis. Apalagi kalau isinya menyinggung perasaan orang lain atau lembaga tertentu.

Keberadaanya juga bukan bebas yang tanpa batas. Sebab Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang ITE nomor 11 tahun 2008 sudah memberikan warning. Perbuatan yang dilarang (cybercrimes) beberapa diantaranya terkait konten ilegal; kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE). Dan banyak lagi aturan yang lain. Untuk itu, berhati-hatilah dalam bermedia sosial, jangan asal tampung informasi kualitas asal dan berkomentar sekehendak jidat bila tak mau berujung perkara. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 8 November 2016

No comments:

Post a Comment