Wednesday, November 16, 2016

Hitam Putih dan Abu-abu

Oleh Abdullah Al Mas’ud


SEBETULNYA di dunia ini ada tiga warna dasar, yakni merah, biru, dan kuning. Tapi dalam prilaku manusia ketiga warna tersebut tak berlaku, yang berlaku hanya warna hitam dan putih. Mau pilih yang mana pun ada konsekuensinya. Sadar atau tidak, warna ini mencerminkan prilaku manusia di tengah masyarakat.

Menurut nenek moyang kita dari zaman hong sekalipun warna putih dimaknai sebagai simbol kebersihan, suci, tanpa noda. Sedangkan hitam adalah warna gelap, identik dengan keburukan, serta ketercelaan.


Lalu bagaimana dengan prilaku manusia yang ragu-ragu? Nah…dari sini munculah warna abu-abu. Warna abu-abu diidentikkan dengan ragu-ragu, oportunis, bias dibilang independen sekaligus ketakpedulian. Warna abu-abu tidak memberikan energi, tidak merangsang atau tidak menarik.

Sekali lagi, menjadi hitam, putih, atau abu-abu itu adalah soal pilihan. Layaknya sebuah pilihan, ia boleh diambil boleh tidak. Ketika keburukan selalu diidentikkan dengan warna hitam dan kebaikan diidentikkan sebagai warna putih, maka abu-abu pun berada di antaranya.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dari waktu ke waktu selalu menghadirkan tiga warna itu. Mana yang buruk dan mana yang baik sudahlah jelas. Mana yang ragu-ragu, juga selalu ada. Mana yang pro dengan Gubernur Lampung mana yang kontra, dan mana yang ragu-ragu, kian nyata.

Bagi mereka yang telah memahami nilai-nilai kepemimpinan, tidak ada keraguan. Kalau ada yang ragu sangat mungkin disebabkan oleh banyak hal. Bisa karena ketidaktahuan, bisa karena kemalasan untuk mencari tahu, bisa karena kelemahan prinsip, bisa karena kurang percaya diri, atau karena entah apa lagi.

Yang jelas, siapa pun dan di mana pun, hidup ini memerlukan kejelasan dan kepastian. Tidak boleh ada keraguan.

Fakta itu segera melahirkan polarisasi di tengah masyarakat, siapa-siapa saja yang pro-gubernur dan siapa-siapa saja yang tidak. Semakin jelas pula mana yang putih, mana yang hitam, dan mana yang abu-abu.

Kalau di Jakarta sudah jelas gejolak sosial yang sedikit bisa menciptakan gejolak nasional. Tanggal 14 Oktober lalu, massa dari berbagai ormas Islam yang berbusana serba putih turun ke jalan, mendesak polisi memproses kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.

Sepuluh hari kemudian, 24 Oktober, massa berbusana serba putih juga turun ke jalan. Bukan umat Islam, melainkan para dokter yang menuntut pembatalan sejumlah kebijakan pemerintah di bidang kesehatan yang tidak prorakyat.

Kalau kita hendak mempertahankan Gubernur Lampung M Ridho Ficardo, saatnya kita pilah siapa-siapa yang hitam, siapa-siapa yang putih, dan siapa-siapa yang abu-abu.  []


~ Fajar Sumatera, Rabu, 16 November 2016

No comments:

Post a Comment