Wednesday, August 3, 2016

Pungli Kaum Terdidik

Oleh Supendi


Revolusi mental yang didengungkan Presiden Jokowi nampaknya jauh panggang dari api. Betapa tidak, institusi pendidikan dan agama yang semestinya menjadi motor perubahan justru mencontohkan kebobrokan.

Institut Agama Islam Negeri (IAIN ) Raden Intan Lampung misalnya. Sebagai lembaga pendidikan agama ternama, sudah semestinya membentengi diri dari sesuatu yang buruk, apalagi melakukan pungutan liar kepada mahasiswanya sendiri.

Meski pihak kampus dengan tegas telah membantah adanya pungli, namun pernyataan dalam surat himbauan infaq masjid serta pengakuan sejumlah orang tua mahasiswa menjadi bukti bahwa praktik pungli sudah berlangsung di kampus ini. Penguat lainnya, aksi demonstrasi mahasiswa yang berujung pada bentrok beberapa waktu lalu meski kini dilupakan begitu saja.

Bukan kaum “terdidik” namanya bila tak pandai-pandai melindungi diri dengan mengaburkan pesan instruksi “wajib” menjadi seolah-olah membayar atas dasar kerelaan. Tujuannya jelas, agar tak menjadi masalah dikemudian hari, sehingga kata-kata “buruk” divermak sedemikian rupa manisnya.

Berinfak bagi kita umat muslim sungguh sesuatu yang mulia, apalagi bila benar-benar atas dasar sukarela, baik secara niat maupun secara nilai materi. Tapi bagaimana bila niat ini diarahkan dan nilainya ditentukan pula. Bukankah pemaksaan?

Dalam salinan surat perihal Imbauan Infaq Pembangunan Masjid Kampus bernomor 05/PAN.MBU/2016 disebutkan, setiap orang tua mahasiswa baru dapat memilih nominal infaq masjid dengan pilihan nominal Rp500 ribu, Rp750 ribu, Rp1 juta atau lebih besar.
Memang dalam surat himbauan bertanda tangan Rektor IAIN Lampung, Moh Mukri, Ketua Panitia Achlami dan Sekretaris Habiburrahman tersebut tidak menyebutkan kata-kata wajib untuk membayar infak.

Namun diakhir surat himbauan tersebut dituliskan bahwa bukti pembayaran dalam bentuk slip setoran atau cetak transfer harus dilampirkan pada surat pernyataan kesanggupan mahasiswa untuk membayar infaq. Surat pernyataan dan bukti transfer ini lalu disertakan sebagai salah satu instrument pendaftaran ulang mahasiswa baru yang mengindikasikan infaq tersebut bersifat wajib.

Beberapa orang tua mahasiswa yang anaknya diterima kembali di kampus ini mengaku bila hal serupa sudah berlangsung sejak tahun lalu. Dan benar saja, infaq minimal Rp500 ribu yang dibayarkan bukan semata-mata atas dasar keiklasan namun karena mengiranya sebagai salah satu syarat daftar ulang alias diwajibkan.

Masalah ini boleh saja dianggap sepele, oleh pihak kampus, dinas pendidikan, departemen agama, ombudsman, kepolisian atau gubenur sekalipun. Tapi buat masyarakat dengan ekonomi pas-pasan yang membiayai kuliah dari hasil utang sana-sini tentu menjadi suatu pukulan. Terlebih bagi mereka yang menyandarkan diri terhadap nilai serta kemurnian pendidikan. []


~ Fajar Sumatera, Rabu, 3 Agustus 2016

No comments:

Post a Comment