Tuesday, June 7, 2016

Palestina

Oleh Riko Firmansyah


INDONESIA sejak dulu memandang Palestina sebagai negara terjajah. Dan, penjajahnya adalah Israel. Hal ini pun tertuang dalam semangat Konferensi Asia Afrika yang sepakat menantang penjajahan di muka bumi.

Indonesia secara tulus mengapresiasi perjuangan rakyat Palestina dalam mengusir penjajahnya. Bahkan, Presiden Joko Widodo mendukung kemerdekaan Palestina. Dan, tetap menolak membuka konsulat atau kedutaan besar Israel di Indonesia hingga kini.

Komitmen itu so far so good, sampai Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi membuatnya bias. Dia mendukung solusi dua negara menjadi satu-satunya solusi perdamaian Palestina-Israel yang disepakati sebagai hasil terpenting Pertemuan Paris untuk Persiapan Konferensi Perdamaian Internasional, pada 3 Juni lalu.

Pertemuan Paris itu menunjukkan adanya keinginan kuat dari berbagai negara untuk mendukung proses perdamaian Palestina dan Israel yang terhenti di tangan Kuartet Palestina-Israel (AS, Rusia, PBB, Uni Eropa) pada 2014.

Menurut Retno Marsudi, yang paling penting adalah a two state solution is the only solution (solusi dua negara adalah satu-satunya solusi). Jadi, kalau ada pihak-pihak yang masih menginginkan one state solution (satu negara) sudah jelas tidak mungkin dan tidak bisa dilakukan. Lah! Kok gitu?

Solusi itu artinya, membuat Israel lebih leluasa lagi menindas rakyat Palestina karena campur tangan apapun dari luar akan dianggap mengganggu kedaulatan negara mereka.

Seharusnya, Retno Marsudi menolak solusi itu dan tetap mendukung  kemerdekaan Palestina serta menyatakan Israel harus hengkang. Apapun caranya dan berapa lamapun waktu.

Soal sampai kapan perjuangan Rakyat Palestina akan berakhir itu urusan lain. Terpenting adalah semangat serta dukungan Indonesia terhadap proses kemerdekaan itu sendiri.

Sejak awal Indonesia bukan mendukung proses perdamaiannya tetapi mendukung proses kemerdekaan Palestina. Dan, itu terus dilakukan tanpa henti sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

Bila arah dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara itu tidak segera berubah maka bisa disimpulkan kita tercabut dari akar sejarah kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 7 Juni 2016

No comments:

Post a Comment