Tuesday, May 19, 2015

Lampung Gagal?

Oleh Deni Kurniawan


TAHUN 2015 boleh tahun  politik. Ingar-bingar perebutan  kekuasaan yang bakal berlangsung serempak secara nasional mulai berdengung  di mana-mana, mulai dari  balik meja birokrasi, sudut-sudut jalan sampai ke warung kopi. 

Dinamika politik nasional pun diwarnai kontroversi kebijakan pusat di bidang politik dan ekonomi, jelas mempunyai dampak ke masyarakat setiap lapisan. Para politisi pun sudah memainkan jurus ‘mabuknya'  dengan ragam ilusi.


Untungnya Indonesia mempunyai 'jiwa yang kuat'. Berbagai prahara yang melanda, mulai dari keterpurukan ekonomi menjelang Reformasi 1998, lepasnya Timor timur, tsunami Aceh hingga meletusnya Merapi, tak menggoyahkan Negeri Seribu Pulau ini. Indonesia tetap berdiri tegar. Indonesia belum menjadi negara yang gagal.

Negara gagal, menurut JPP UGM, ada beberapa indikator yang bisa dikategorikan sebagai negara gagal: (1) disharmoni antarkomunitas, (2) tidak mampu memberikan jaminan keamanan kecuali di ibukota, (3) hanya institusi eksekutif yang berfungsi, birokrasi kehilangan tanggung jawab dan profesionalitas, hanya mementingkan elite dan merepresi warga, (4) Ranah publik yg terbatas dan honogen, (5) lembaga yudikatif tidak independen, dan (6) militer memiliki integritas, terpolitisasi; Aparat keamanan cenderung menjadi negara dalam negara.

Lalu, (7) infrastruktur mengalami kehancuran, (8) pendidikan dan kesehatan diprivatisasi merosot dan tanpa sistem yang jelas, (9) akses ekonomi yang timpang dan privelege bagi segelintir orang, (10) korupsi yang menggurita, (11) penurunan GNP dan GDP, (12) tanggung jawab negara dalam kesejahteraan warga tdk ada, (13) kelangkaan makanan dan kelaparan semakin meluas, (14) negara kehilangan legitimasi di beberapa wilayah dan gerakan kemerdekaan menguat, dan (15) warga menguatkan loyalitas komunitasnya sebagai sumber keamanan dan kesempatan ekonomi.

Semua indikator itu bisa dianalisis dalam konteks governability. Namun, jika kita mengacu pada kejadian luar biasa yang menimpa Indonesia beberapa kali, sepertinya tidak ada negara di Asean yang pernah lewati fase indonesia 1998-1999, sehingga sampai hari ini masih mampu memimpin ASEAN.
Bagaimana dengan Lampung?

Menyandang predikat provinsi termiskin keempat nasional di era Sjachroedin ZP, Lampung tentu tidak ingin dikatakan sebagai provinsi yang gagal. Era otonomi seharusnya menjadikan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai  tonggal dalam peningkatan ekonomi sebuah daerah. Menuju  satu tahun kepemimpinannya pada 2 Juni nanti, Gubernur termuda se Indonesia, M Ridho Ficardo dan Wakil Gubernur Bachtiar Basri tentu ingin bangkit menjadikan Lampung Maju dan Sejahtera sesuai visi dan misi pemerintahannya. Semoga, 'Lampung Gagal' tidak pernah terjadi era kepemimpinan siapa  pun. []

~ Fajar Sumatera, Selasa, 19 Mei 2016

No comments:

Post a Comment