Thursday, November 22, 2018

Kecimil

Oleh Udo Z Karzi


"UNTUK Perpustakaan kan?"

"Ya, Bu untuk taman bacaan."

"Sebentar saya tanya dulu."

Lalu, ibu petugas mengirim WA ke siapa saya tidak tahu. Lalu, dipersilakan duduk dulu menunggu. Lalu, ada dialog telepon dengan orang yang dikirimi WA.

Tak lama kemudian. Ibu petugas pos berkata, "Pak, tidak bisa."

"Kok tidak bisa, Bu? Hari ini kan benar tanggal 17?"

"Mesti minimal 2 kg. Ini ada paketnya. Di bawah itu tidak bisa. Ini cuma satu judul."

"Ini isi dua judul buku, Bu."

"Bapak jual buku ya?"

"Nggak kok Bu. Ini buku gratis untuk teman di taman bacaan."

Petugas pos terdiam.

Saya tahu petugas pos hanya menjalankan prosedur. Karena itu, saya tak ingin belibet.

"Ya, sudah. Kirim paket biasa saja."

"Bayar?"

"Ya..."

***

Kecimil (kecele) deh gua. Hehee.. Sesuai petunjuk seorang senior, saya hari ini Sabtu, 17/11/2018 ini ke kantor pos.

"Masih ada kan setiap tanggal 17 kirim buku gratis via kantor pos," kata dia.

Hmm, iya saya ingat PT Pos Indonesia mempunyai program pengiriman buku gratis untuk mendukung Gerakan Literasi Nasional.

Karena percaya program ini bagus, makanya saya sengaja menunda pengiriman buku untuk sebuah taman bacaan sampai tanggal 17. Buku yang saya kirim juga gratisan kok.

Tapi, ternyata syarat pengiriman buku gratis itu berat juga. Hehee... Harus untuk taman bacaan atau perpustakaan dan berat minimal 2 kg.

Pertanyaannya, masa saya harus menunggu sampai 2 kg dulu baru boleh dikirim. Itu jarang-jarang. Saya mengirim buku lebih sering cuma satu, dua, paling 1 kg. Jarang lebih kok.

Karena baek, buku yang saya kirim sering juga secara "percuma" alias gratis. Biaya kirim pun saya yang tanggung. Yang penting orang yang saya kirimi senang.

Alhasil, buku-buku tetap mahal dan biaya pengiriman buku tetap mahal. Salam literasi. Ayo kita sukseskan masyarakat gemar membaca.

***

Terus terang saya menjadi makin tidak paham literasi. Yang saya tahu, sebagai penulis, buku saya dibaca -- lebih bagus dibeli. Syukur-syukur diborong pemerintah. Ajip Rosidi bilang, buku-buku daerah itu dari satu sisi cukup berhasil dalam upaya meningkatkan kecintaan kepada bahasa dan sastra daerah. Namun kalau mau diukur dari sisi komersial, maka tidak bisa tidak pemerintah daerah harus membeli buku-buku itu untuk disebarkan kepada khalayak.

Begitu pula saya tidak paham literasi. Yang saya tahu, sebagai pembaca, bisa dapat buku murah. Syukur-syukur gratis karena sudah dibeli oleh pemerintah atau pihak lain yang merasa perlu meningkatkan minat baca masyarakat.

Literasi jika tidak meningkatkan kejahteraan penulis karena bukunya tidak laku atau diobral murah; buat apa? Orang-orang suka baca, tetapi nasib penulis tak juga beranjak baik. Ah, literasi. []


Fajar Sumatera, Kamis, 22 November 2018


No comments:

Post a Comment