Wednesday, November 7, 2018

Gelar Adat, Nama Keluarga atau Marga

Oleh Udo Z Karzi


"GELAR adat Udo apa?"

Agak kaget juga ditanya begitu oleh moderator Rahmad Idris dari Kantor Bahasa Lampung sesaat sebelum tiba giliran saya bicara di Sesi Kedua Diskusi Kelompok Terpumpun Bahasa dan Sastra Lampung: Menguatkan Identitas dan Kearifan Lokal di Hotel Arinas, Bandar Lampung, 24 Oktober lalu.

Di sesi kedua ini saya berbicara di antara para sutan. Mungkin, ini yang mendorong Rahmad menanyakan adok (gelar adat) saya. Sesuatu yang jarang saya sebutkan dan hampir tidak pernah ditanyakan dalam forum-forum diskusi atau pertemuan ilmiah. Dan, dalam pikiran saya, tidak ada relevansinya dengan tema yang dibicarakan.

Tapi, tak urung saya merasa perlu menjelaskan sebelum memaparkan pandangan saya bagi pengembangan bahasa dan sastra Lampung.

"Tadi moderator bertanya apa gelar adat saya. Saya kurang paham apa hubungannya adok dengan apa yang kita bicarakan sekarang. Namun, baiklah tak ada salahnya saya menjelaskan posisi saya dalam adat Lampung," kata saya.

Kata saya selanjutnya, "Saya punya dua adok. Pertama, saya berasal dari Liwa. Dalam keadatan, saya berada di lingkungan adat Kampung Bumi Agung di bawah kepemimpinan Suntan Makmur (alm). Saya beradok Batin Pembina. Tingkat tiga dalam stratifikasi keadatan Lampung Saibatin Marga Liwa setelah suntan dan raja. Di bawah batin ada radin, minak, kimas, dan mas.

Kedua, saya menikah dengan muli Pubian dari Kurungannyawa yang beradat Lampung Pepadun. Dari sini saya diberi adok Pengiran Terang.

Di samping saya, ada paman saya, Prof Dr Chairul Anwar, M.Pd. Saya memanggil beliau dengan Pakbatin. Bisa ditebak bahwa Prof Chairul bergelar adat batin juga. Saya kurang tahu apa adok Pakbatin saya ini.

Begitulah kami kurang famiar dengan gelar adat kami. Kalau ada acara adat, barulah adok itu berfungsi sebagaimana mestinya."

***

Itu mengenai adok, yang saya sampaikan dalam diskusi. Hal lain, di luar diskusi dan agak melebar sedikit, nama belakang saya, Zubairi, adalah nama orang tua. Dengan begitu, Zubairi menjadi nama keluarga. Tapi, masalahnya, dari kami lima bersaudara, hanya saya yang ditambahkan Zubairi di belakang nama saya.

Demikian pula, ayah saya, Zubairi Hakim. Hakim diambil dari nama kakek saya (orang tua ayah): Abdul Hakim. Tapi, adik ayah tidak memakai Hakim di belakang namanya.

Untuk anak saya, sebenarnya saya bisa menggunakan nama keluarga, Zubairi atau Hakim. Kalau pakai nama saya, mungkin terlalu panjang. Hehee... Toh, di paspor nama saya tertulis: Zulkarnain Zubairi Hakim.

***

Saya tak mencantumkan nama keluarga di nama anak-anak. Saya malah menuliskan nama belakang mereka Liwa: Muhammad Aidil Affandy Liwa dan Wan Agung Raihan Herza Muzakki Liwa.

Ya, Liwa tak sekadar nama ibu kota Kabupaten Lampung Barat. Ia adalah nama salah satu marga. Orang-orang Lampung jarang mencantumkan nama marga di nama mereka. Ada beberapa pengecualian seperti mantan Wali Kota Bandar Lampung Zulkarnain Subing, mantan Wakil Bupati Lampung Timur Noverisman Subing, mantan Dekan Fakultas Hukum Unila Adius Semenguk, mantan anggota DPRD Lampung Ahmad Nyerupa, dan beberapa nama lagi.

Secara kebetulan nama Liwa terdengar puitis dan memiliki makna yang bagus. "Nama Liwa terdengar enak memang," kata Febrie Hastiyanto suatu ketika. Di KBBI, Liwa diartikan sebagai bendera, panji-panji. Versi lain Liwa berasal dari kata dua kata "meli iwa" (membeli ikan), yang dirapatkan menjadi "meliwa". Akhirnya, dengan enak diucapkan "Liwa".

Asyik kan jadi orang Liwa.

Ini cuma cerita. Maaf kalau salah. []


Fajar Sumatera, Rabu, 7 November 2018

No comments:

Post a Comment