Friday, October 12, 2018

Golongan Tria

Oleh Udo Z Karzi


MUSIM Pemilu dan colak colek caleg kayak sekarang ini membuat saya jadi terkenang waktu kecil. Saya lahir zaman Orde Baru. Sampai datang Reformasi, hanya ada tiga kontestan dalam pesta rakyat lima tahunan itu. Nomor urutnya pun tak berubah dari awal sampai akhir. Nomor 1 Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nomor 2 (Bukan partai tapi ikut Pemilu terus) Golongan Karya atau Golkar. Lalu, Nomor 3 Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Pemilu 1977 saya berumur 7 tahun dan masih kelas 1 SDN 1 Negarabatin Liwa (nama SD saya ini selalu saya tulis lengkap karena sedemian bangganya saya jadi alumnus sekolah yang tak ada duanya ini🤣🤣). Namanya juga anak kecil mana pula saya ngerti2 amat dengan pemilu, partai pelitik, calon legislatif, atau apa pun atribut partai. Yang saya tahu kalo PPP warnanya hijau, Golkar kuning, dan PDI merah.

Kampanye mesti Golkar selalu meriah. Kalau PPP dan PDI nggak seru, nggak rame, gak banyak hiburannya.

Saya tahu persis. Sebab, rumah kami persis di sudut Lapangan Merdeka, Desa Negarabatin Liwa, tempat yang paling sering dijadikan arena kampanye, Agustusan, pertandingan sepak bola dan bola volley, pentas seni, dan panggung hiburan.

Balik ke pelitik, saya suka nonton kampanye Golkar. Ya, harus Golkar karena bak (bapak) Golkar. Begitu juga Pak/Bu guru, Pak RK, Pak Kades, Pak Camat, Pak Pembantu Bupati Wilayah Liwa... semua Golkar.

Karena didukung banyak pejabat dan banyak dokunya, kampanye Golkar mestilah seru dan meriah.

Di sela-sela pidato dan nyanyian di panggung kampanye, selalu terdengar beulang-ulang teriakan: "Pilih Nomor 2", "Nomor 2", "Golkar Pillihan Kita", "Golkar menang rakyat senang", "Hidup Golkar", "Hidup Golongan Karya", ....

Dan saya yang ikut menyaksikan dari teras rumah kami, ikut bersemangat berteriak, "Hiduup Golongan Tria!"

Kontan semua yang di teras sedang menonton kampanye terbahak.

Ai, apa yang salah dengan teriakan saya? Sebagai anak kecil tentulah saya bingung kenapa saya ditertawakan.

Lama kemudian setelah besar, saya cengengesan mendapatkan cerita ini. Ya, gimana.... Golongan Tria. Tria itu kan nama mak saya. Lengkapnya Tria Qoti. Nama yang terlalu modern untuk muli tumbai dari desa pula. Kebetulan pula mak saya itu anak ketiga dari tujuh bersaudara. Jadinya, kan pas.

Itulah Mak saya. Bangga punya Mak kayak gitu. []


Jumat, 12 Oktober 2018

No comments:

Post a Comment